Jumat, 27 Juni 2014

7 Tips Menikmati Perjalanan dengan Riang Gembira

Beberapa hari yang lalu, saya dan beberapa orang teman bermaksud menghadiri resepsi pernikahan di Malang. Ini perjalanan ke-3 saya ke arah timur (area Jawa Timur dan sekitarnya), setelah 2 kali sebelumnya selalu mendarat di Surabaya. Pernah mencoba menggunakan moda transportasi umum darat (kereta) dan udara, kali ini saya dan beberapa teman dari Jogja berangkat dengan menyewa mobil bersama-sama. Next, mungkin bis Mira atau Eka bisa jadi pilihan berkendara ke sana. Ada satu lagi sih, Sumber Selamat, yang dulunya sempat punya nama panggil Sumber Kencana. Rrrr…entahlah, mungkin ada yang bisa bujuk saya untuk mencoba bis satu ini? Mengingat sebagai outsider (pengguna jalan di luar penumpang bis SS itu, maksud saya), saya beberapa kali punya pengalaman menegangkan saat membersamai SS.

Kebetulan saya kebagian jatah sebagai supir cadangan, jadi porsi menikmati perjalanan masih lumayan banyak. Berangkat lewat Solo yang ditempuh dari Jogja dalam waktu 4 jam, kota-kota kecil macam Sragen, Magetan, Madiun, Kediri, Blitar menjadi pemanis perjalanan 14 jam kami ke Malang. Kembali dari Malang menuju Jogja, kami ternyata bisa hemat 3 jam dengan lewat jalur gunung (Blitar-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Solo). Jadi dari total 36 jam pulang-pergi, 25 jam di antaranya kami habiskan di perjalanan. -___-

Walau begitu, saya cukup suka perjalanan ke timur ini. Kenapa ya? Mungkin karena ini pengalaman pertama buat saya, atau mungkin juga karena suka jalan, atau mungkin juga karena kota-kotanya klasik dan tak terlalu padat jadi rasanya ikut selo. Hehe. Nah, lewat tulisan ini saya juga mau coba kasih beberapa tips melewati 25 jam bermobil di jalanan dengan riang, versi saya tentunya.

1. Bawalah teman-teman yang selo. Dengan teman yang selo, niscaya perjalanan Anda tidak akan berada dalam tekanan rekan yang berorientasi pada hasil akhir semata, alias pingin cepat sampai ke tempat tujuan.

2. Sediakan supir cadangan, seperti saya misalnya. Walaupun kemampuan menyetir pas-pasan dan selalu deg-deg-an kalau mau menyalip truk gandeng atau bus AKAP, setidaknya cukup menyediakan waktu bagi supir utama untuk beristirahat sejenak dan kembali prima saat harus menyetir lagi.

3. Hindari membawa flashdisk berisi file musik. Biarkan radio lokal setempat, dari kota ke kota, menuntun Anda ke titik frekuensi paling gaul di kota itu hingga ke tingkatan yang menuntun pada kebajikan. Trust me. Tunggu sampai radio Anda menangkap siaran pengajian radio ala Jawa Timuran yang menyejukkan dan…. ngakak sakpole!

4. Malu bertanya sesat di jalan. Jangan salahkan power bank yang nihil atau ponsel yang habis baterai saat kebingungan mencari alamat di kota yang sama sekali asing. Jangan sampai lah kesana kemari membawa alamat…..dung crek!

5. Bersabarlah. Biarkan Sumber Selamat di belakang sana berjalan mendahului. Sebagai kapten yang baik, mengatur serangan dengan kepala dingin mutlak diperlukan. *uopoooo*

6. Berhentilah di beberapa tempat kece dan lakukan sesi foto bersama. Ini penting, karena bagaimanapun, kita butuh eksistensi. Halah.



jam 4 sore di suatu tempat yang dingin di Tawangmangu (foto diambil oleh bapak baik
yang saya curigai sebagai takmir masjid setempat)

7. Bersegeralah untuk membeli jajanan yang menarik di kerumunan yang terlewati di sebuah kota. Ini sangat berguna untuk merekatkan hubungan kekeluargaan antar penumpang. Itu, jajajan itu maksudnya.

Itu dulu sedikit tips yang bisa saya bagi, kalau membantu baguslah, kalau tidak ya tidak apa-apa. Tempat tujuan boleh selalu sama dan itu-itu saja, tapi mengalami perjalanan akan selalu jadi cerita yang berbeda. Kan? Nah, sampai jumpa di perjalanan-perjalanan yang lain! Hap hap hap!


ini dia pernikahan Mas Luqman dan Farida, di Malang. Blessed you both!!


Jumat, 06 Juni 2014

Napak Tilas Pentas

Selalu. Menonton penampilan langsung, adalah obat rindu, bisa jadi juga sendu.
Dunia panggung yang selalu menggebu-gebu. Alur cerita yang kadang mundur kadang maju.
Juga tentang mengaduk-aduk rasa ingin tahuku : bagaimana bisa tertulis naskah itu?

Teater menjadi salah satu tempat terbaik dimana saya selalu merasa diterima oleh orang-orang di sekitar saya meskipun saya datang tanpa bawa kemampuan apa-apa. Kenangan berada di atas panggung, diterangi cahaya lampu sorot, latihan tak kenal waktu, mengobrak-abrik pasar mencari kostum, mencari ekspresi dan logat bicara paling mengesankan di depan cermin…….ah! Saya bisa dibuat gila saking rindunya.
Jadi, Senin malam kemarin (2/6), kenangan itu dihidupkan kembali lewat mini teater di Kedai Kebun Forum dalam rangka menemani rasa penasaran seorang teman. Judulnya “Planet ke-11”, diproduksi oleh Teater Amarta besutan Nunung Deni Puspitasari yang sebelumnya sempat mengenyam pengalaman magang di Teater Koma, sebelum akhirnya kembali ke Jogja dan mandiri dengan karya-karyanya. Naskah yang dipentaskan mereka adalah adopsi terjemahan dari naskah seorang penulis naskah drama asal Slovenia, Evald Flisar. Kisahnya bercerita tentang persahabatan 3 sekawan gelandangan dengan latar tempat masa kini, dimana banyak orang berkeliaran untuk mencari kebahagiaan pribadi (saja) yang membuat ketiganya frustasi.
Tiga sekawan yang tadinya kabur dari rumah sakit jiwa itu bernama Paul yang harus menderita setiap kali mendengar dengungan suara sirene ambulans di kepalanya, Magdalena yang tergila-gila pada sepotong paha ayam yang nikmatnya bagai makanan surga, serta Peter yang sempat menjadi “musuh bersama” dengan gaya perlentenya hasil mencuri barang-barang mahal di toko. Konflik memuncak ketika ketiganya saling mencurigai satu sama lain karena menduga adanya pengkhianatan dalam persahabatan di antara mereka, diisyaratkan dengan berbunyinya telepon genggam curian mereka dengan nomor asing yang “aneh”.
Hingga pada akhirnya, setelah melalui serentetan adu kalimat yang cukup panjang, mereka mendapati adanya kedamaian untuk kembali. Kembali, ya, kembali ke dunia asal mereka. Dunia dengan imajinasi suka-suka mereka tanpa mesti terraih bentuk fisiknya, tanpa khawatir apa-apa, tanpa nafsu yang merajalela.  

Ada beberapa scene yang demikian cepat berlalu tanpa bisa saya tangkap maksudnya kemudian sudah ganti dengan scene yang lain. Itu masalah saya pribadi, sih, sebenarnya.. hahaha.  Buat saya yang hanya pernah bermain-main teater di ekstrakurikuler sekolah, tentu saja akan sulit mengerti dialog-dialog satir yang dilontarkan dalam pentas sekitar-120-menit itu. Sambil tergopoh-gopoh mencerna isi pentas, saya mengamati situasi di belakang dialog yang berbalas tanpa henti. Sebuah level hitam kurang lebih sebesar kasur single standar, layar kaku seukuran sekitar 3x8 meter untuk jarak pandang 100 meter-an diletakkan horizontal dengan lekukan tengah seperti lipatan buku. Ringkas, kelam. Saya ingat dulu pelatih teater saya yang super keren, Pak Sugeng, hanya memerlukan selembar kain hitam besar seukuran 4x6 meter dan topeng-topeng buatan tangan dan mengantar anak-anak didiknya juara 1 lomba teater se-Kota Yogyakarta. Sederhana itu menakjubkan, Boi!

Baiklah, karena saya jadi mendadak melankolis akibat mengingat-ingat beberapa kenangan jaman dulu, lebih baik segera saya akhiri tulisan ini. Terima kasih Ajeng yang sudah ajak saya merapat ke pentas ini dan menyelami beberapa kenangan lama saya.
God, I miss that stage.

Sajak Kecewa

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa namanya?
Ketika kamu begitu menantikan sapaan pribadinya
Ketika kamu berdebat tapi terasa nikmat
Ketika kamu kesal tapi tak mampu marah
Ketika kamu tak peduli apa yang dia miliki
Tapi hanya peduli  tentang “he’s the man!”
Ketika kamu tidak khawatir tentang hari besok
Karena kamu yakin kalian akan mengusahakannya
Bersama-sama

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa disebutnya?
Ketika hati berdebar hanya karena baca namanya
Ketika segala semangatnya menyemangatimu juga
Ketika kata-kata pendeknya membuatmu tertawa
Tanpa kecuali, tidak terkecuali

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa istilahnya?
Ketika pikiranmu hanya ingin memastikan dia ada di seberang sana
Ketika doa setelah orangtua dan hinder dari api neraka
Adalah tentang menyebut namanya
Ketika jarimu kemudian menyentuh gambar telepon warna hijau
Sedang jari satunya menyentuh gambar telepon warna merah 2 detik setelahnya
Ketika pesanmu sudah terketik sempurna
Tapi tanpa ampun kamu menghapusnya

Bagaimana sebaiknya meruntuhkan yang begini?
Rasanya ingin sembunyi
Malu mengakui, tapi memendam lama bakal tak kusanggupi
Bagaimana aku seharusnya?
Kalau dia ternyata sudah ada yang punya
Lalalalala….