Minggu, 16 Maret 2014

JEDA

Wanita itu bilang, ia hanya tak ingin aku bermimpi terlampau jauh
dan jatuh dengan kesakitan yang sangat.
Wanita yang lain bilang, betulkah keputusanku saat ini serius
dan bukan hanya ajang pelarian diri dari kenyataan.
Wanita yang lain lagi bilang, mengingatkanku bahwa ada sekat-sekat dimana seorang wanita harus rela membagi hidupnya dalam sebagian kodrat dan sebagian lain dengan mimpi-mimpinya.

Mendengarnya, aku meringis dan hanya tenggelam dengan helaan nafas dalam-dalam.

Beberapa waktu kosong saya yang lalu saya pakai untuk mengunjungi tempat-tempat tinggal beberapa teman. Kenapa ke rumah teman? Karena rumah, seringkali bercerita lebih asyik dan lebih banyak daripada lama perkenalan yang kita habiskan dengan si penghuni di luar rumah. Kartu kepanitiaannya, tumpukan buku ceritanya dari jaman teenlit sampai fiksi ilmiah, bingkai-bingkai foto yang dipilih untuk dipajang, hal-hal semacam itu lah. Buat apa? Iseng. Iseng untuk tahu tempat dimana kawan-kawan ini akan selalu kembali setelah melakukan perjalanan yang mungkin tak terkira jauhnya.

 Saya sempat pergi ke rumah nenek Ajeng bersama Ajeng di Solo. Rumah putih yang luas, saudara-saudara yang hangat, serta jalanan yang ramai tapi santai. Saya tak bisa berpikir bahwa orang-orang di tempat itu punya ambisi lain selain membangun keluarga yang harmonis, pekerjaan yang memadai, dan sebuah rumah nyaman dengan teras kecil yang hangat untuk menutup malam.

Saya sempat juga pergi menengok rumah Halida di Sumenep, Madura di minggu depannya. Ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan ke timur sendirian berirama dengan gesekan rel dan kereta menuju Stasiun Gubeng di Surabaya. Meneruskan jalan selama 3 jam dengan travel sambil menyusur tepian pantai penghasil garam, saya dipertemukan dengan keponakan Halida yang berisik dan lincah, dialog-dialog sederhana dalam sebuah keluarga yang super baik, serta jajaran rumah yang membawa saya ke 30 tahun silam. Saya tak bisa menduga apa lagi yang diinginkan sebagian besar orang di tempat itu, kini, selain pergi ke kota Surabaya dan hidup tenang di hari-hari sisanya.

Saya mengunjungi rumah Raras yang baru di bilangan Imogiri Timur. Saya masih ingat 6 tahun terakhir ini kami jarang sekali bertemu karena keperluan menuntut ilmu dan penghidupan masing-masing di tempat yang berbeda, hingga Februari lalu bisa bertemu lagi di Jogja dengan mimpi yang kurang lebih sama. Ia memperkenalkan saya dengan nama-nama seperti Banda Neira, Tigapagi, Yuna, Dialog Dini Hari, membawa saya memutar kembali Bangkutaman, The Adams, Frau, dan beberapa lagi lainnya. Hanya ada ayah dan ibunya di rumah, persis sama dengan penghuni rumah saya dua tahun belakangan. Kami tumbuh dewasa di lingkungan ilmu dan pekerjaan yang berbeda dan beberapa hal seperti potret keluarga kami yang kurang lebih senada serta kesukaan terhadap musik, buku, beberapa macam seni, sampai Takuya Kimura membuat kami bisa bicara ngalor ngidul tentang perjalanan 6 tahun yang sudah-sudah. Darinya, saya tak meragukan apa lagi yang diinginkannya selain hidup dari keputusan bulat yang telah dia ambil dan menikmatinya secara maksimal.  

Bermimpi yang tinggi, hati-hati jarak jatuhnya ke tanah bumi juga lebar. Bercita-cita yang besar, hati-hati dengan nyatanya yang tak sebesar harapan. Untuk para pencerita dan wanita-wanita yang tak saya sebut namanya, terimakasih untuk “jeda” agar tak lupa menyiapkan kapling “kecewa” serta untuk mengingat selalu tempat kembali selepas perjalanan-perjalanan panjang nanti. Cheer up!