Selasa, 10 September 2013

Bawah Laut Pertamaku

Selalu ada momen pertama sebelum yang ke-2,ke-3, dan seterusnya hingga menjadi biasa. Untuk sebuah jiwa yang kaya dan pandang yang luas menjangkau sudut-sudut terjauh mata, aku rela menanggalkan segala ketakutanku dan belajar berteman dengan resiko-resiko baru.
Welcome, Freedom!!

Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa kawan sempat berjalan-jalan ke daerah Tarakan. Sebelumnya, Tarakan merupakan sebuah kabupaten di provinsi Kaimantan Timur. Tapi belakangan saya tahu bahwa saat ini sudah terbentuk provinsi baru yaitu Kalimantan Utara (atau disebut Kaltara) dan Tarakan menjadi salah satu kabupaten yang tergabung di dalamnya.
Semenjak perjalanan menegangkan akibat turbulensi hebat di pesawat saat pertama berangkat bertugas dulu dan perjalanan random ke Banjarmasin, perjalanan menegangkan berikutnya adalah ke Tarakan ini. sebenarnya Tarakan hanya sekedar persinggahan, karena tujuan sebenarnya adalah pulau-pulau kecil bernama Derawan, Kakaban, Maratua, dan Sangalaki.

1.       Saya belum pernah dibonceng naik motor dan hampir ditinggalkan di jalan. Tapi bersama Rara, teman sepenempatan saya, saya jadi pernah sekalinya. Itu juga gara-gara kami berdua dengan bawaan riweuh melewati jalanan desa yang berlubang-lubang dalam, gas motor tak cukup kuat, maka saya pun berinisiatif langsung turun dari motor untuk memperingan beban motor meloloskan diri dari lubang. Lalu dari tempat saya turun, saya perhatikan Rara bercakap-cakap entah dengan siapa, mengingat saat itu tak ada pengendara lain selain kami sementara saya memperhatikannya sambil melongo. Dan ternyata seperti adegan film komedi, dia benar-benar menyangka bahwa saya masih duduk manis di belakangnya. Paraaaaahh...-_____-

2.       Snorkling
Seorang teman saya adalah pecinta laut. Kampung halamannya di Kalimantan, dan setiap kali pulang dia sering bercerita tentang perjalanannya menjumpai laut-laut asing. Sesekali dia mengirimkan saya foto hasil buruannya saat menyelam via salah satu media layanan obrol berbasis internet. Sesekali pula dia memberikan gambar lokasi pendaratannya. Pantai yang biru, pasir yang putih, jangkau pandang yang luas,para penghuni laut yang “ajaib” membuat saya tidak habis bertanya kapan saya bisa berada di tempat yang sama. Dan baru saat momen snorkling saya yang pertama, saya mulai “agak” mengerti kenapa dia bisa tergila-gila dengan laut dan seisinya.
Snorkling pertama saya di Pulau Maratua, sekitar 60 menit dari Pulau Derawan. Disambut dermaga dan resort megah milik *ehm* warga negara Malaysia, Peter (guide kami saat itu) mengatakan bahwa boat kami tidak bisa bersandar. Tidak boleh, lebih tepatnya. Oleh karena itu, sekitar 100 meter dari resort tersebut boat kami berhenti dan menurunkan penumpangnya, diantaranya saya. Saya pasang snorkel pertama saya dengan gugup di tempatnya. Seperti orang udik yang baru pertama naik lift, kira-kira itu perasaan saya ketika melongokkan kepala ke dalam air dan bisa bernapas dengan lega selama lebih dari 30 detik.
There was no word can describe what i exactly felt, at that moment, but H-A-P-P-Y. Saya letakkan perasaan takut di bawah lindungan jaket pelampung dan mulai merasakan nikmatnya melihat “dunia baru” sambil (karena belum ahli) merasakan asinnya air laut. Oh, ini rupanya yang namanya snorkling.


-Pulau Maratua-

3.       Menyentuh ubur-ubur
Saya melihat bentuk makhluk bernama ubur-ubur dari buku IPA waktu duduk di bangku SMP. Dan pertama kali menyentuh ubur-ubur dalam wujud aslinya adalah sekitar 10 tahun kemudian. Itu pun langsung dihadapkan dengan ubur-ubur tanpa sengat yang populasinya melimpah dan hanya ada di 2 lokasi di dunia. Salah satunya di Pulau Kakaban di sekitar Derawan ini. What a great day it was. Rasanya pingin berlama-lama berenang di laguna itu, mencari keempat spesies ubur-ubur tanpa sengat yang berdiam di sana dan tidur-tiduran di atas air sampai menjelang sore.

4.       Memegang (anak) penyu
Yap. Hampir segala yang saya lakukan pada liburan 3 hari itu adalah yang pertama kalinya. Penyu yang (lagi-lagi) Cuma sempat saya pernah amati dari TV dan buku, anakannya bisa tersentuh juga. Geli-geli lembek. Haha.

5.       Speedboat malam jam 9 selama 15 menit yang terasa seperti 1 jam
Karena liburan berakhir tepat sehari sebelum masuk sekolah, mau tak mau saya dan teman-teman harus buru-buru pulang semalam sebelumnya. Tanpa babibu lagi, menyeberang dari Balikpapan ke Penajam pakai speedboat pun kami jalani. Hari-hari itu ombak sedang sangat menggila. Bahkan ketika dari Derawan ke Tarakan (transit pesawat kami di Tarakan untuk menuju Balikpapan), speedboat yang membawa kami berguncang demikian kerasnya.

Dan kali ini, kami jalan malam hari. Berbekal rompi pelampung dan gadget yang sudah dibungkus dry bag, komat-kamit sudah mulut saya sepanjang perjalanan 15 menit di atas air di malam itu. Untunglah si supir lihai. Jadinya kami pun dengan bergemeletuk antara ke-angin-an dan tegang sampai juga di seberang.

                                       -Piknik ke SD setempat-



Waktu Mereka Ikut Lomba


Akhir April lalu, saya berkesempatan mengajak anak-anak murid saya yang lolos ke tahap semifinal sebuah lomba sains ke ibukota Kabupaten Paser, Tana Paser. Babak semifinal ini adalah lanjutan dari babak penyisihan tingkat kecamatan yang sudah diadakan sebulan sebelumnya. Secara mengejutkan, 14 dari 22 murid yang ikut seleksi tingkat kecamatan lolos ke babak semifinal. Dan jadilah kami beramai-ramai menginjak ibukota kabupaten nan ramai dan gemerlap.
Jarangnya mereka menginjak daerah perkotaan betul-betul membangkitkan rasa penasaran mereka yang terpendam. Jalan-jalan di malam hari menikmati kota menjadi satu pilihan hiburan aman saya untuk melepas lelah mereka setelah perjalanan jauh dengan mobil desa yang disertai muntah massal.
Di ibukota kabupaten ini ada satu tempat menarik yang sering saya dengar disebut dengan MTQ. Bangunannya bercat ungu dengan serambi di kedua pingginya dan lapangan keramik terbuka di tengahnya, hampir seluas lapangan sepakbola. Ketika malam tiba, tempat ini menjadi pusat kegiatan anak muda yang dinamis. Malam itu, saya melihat anak-anak begitu tertarik memperhatikan sekumpulan anak muda yang berjoged dengan radio tape yang memutar musik bergenre RnB. Tak jauh dari situ, kumpulan muda-mudi lain sedang latihan tari juga. Tak tertinggal kapoera, dimana saya dan anak-anak sempat minta diajari satu gerakan dasar oleh mereka. Fun!
Bertandang ke kota kabupaten mengiring anak-anak yang super penasaran menjadi keasyikan tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak tertangkap di sudut mata mereka di desa, sehingga membuat kunjungan ini begitu punya makna. Anak-anak ini bahkan sudah bangun sejak jam 3 pagi di hari H lombanya dan sudah rapi jali di kala gurunya yang satu ini baru memicingkan mata untuk mengenali datangnya matahari.
Sebulan kemudian, yaitu bulan Mei, pengumuman peserta yang lolos babak final pun datang. Dengan hati berdebar saya cermati nama-nama peserta yang lolos. Namun nasib baik belum juga datang, tak satu pun dari nama-nama itu terdengar familiar bagi saya. Empat belas mutiara kecil saya belum berkesempatan pergi ke tanah Jawa. Sedih, jelas iya. Tapi ketika mengabarkan hal ini pada mereka, saya tiba-tiba terkesiap sendiri.
Bukan, bukan titel kemenangan yang mengisi binar mata itu. Binar-binar mata itu berisi hari-hari ketika kami belajar bersama di sawah, di kelas, berjalan-jalan di sekitar sekolah, melakukan percobaan, perjalanan panjang ke Grogot untuk mengikuti lomba semifinal, dan lain-lain. Kemenangan adalah hal yang sangat baik. Dan tentu saja, menyenangkan. Tapi ketika berhasil mengalahkan ego masing-masing dan mau berrela hati untuk tinggal di sekolah sementara teman-temannya yang lain sudah pulang, selama berhari-hari, saya menyadari bahwa titel juara sudah melekat saat itu juga pada mereka.




“BERJUDI” DENGAN CUACA (1)



“Bersyukurlah, karena dimanapun kamu berada, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, itu adalah tempat terbaikmu berada.”

Seperti menerima guyuran air hujan setelah kemarau berhari-hari, kalimat singkat Bang Ade (rekan dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta) yang sedang mengunjungi saya dan teman-teman di Paser ini terasa se-menyegarkan itu. Bukan kalimat luar biasa sih sebenarnya, tapi di dalam kondisi kami, para pengajar muda, yang cuma punya 9 orang terdekat dalam jangkauan geografis untuk saling menguatkan ini, tambahan amunisi satu “peluru” ini cukup membuat pundak ini terangkat lebih ringan. Dan lebih nglegawa*, kalau orang Jawa bilang.
Meski pundak terangkat lebih ringan, guyuran hujan yang sesungguhnya justru membuat langkah kaki kami, warga desa Maruat, semakin berat. Literally, karena jalanan desa yang becek, licin, dan lengket terutama sejak bulan ke-4 yang lalu. Mau jalan kaki, naik sepeda, atau naik motor, jatuh berlumpur-lumpur sudah pernah saya alami melalui ketiga “metode” di atas. Hahaha. Ternyata 7 tahun berkendara motor kesana-sini belum cukup hebat untuk bertahan hidup di jalanan di sini.
Lagi, setiap tempat memiliki tantangan yang pas bagi penghuninya masing-masing. Kalau ada rekan yang ditantang untuk hidup di pesisir dengan kemampuan berenang nol sama sekali, atau di desa yang alat transportasinya hanya dengan ketinting (kapal kayu kecil bermuatan maks 5-6 orang dewasa), atau di desa dekat pusat pemerintahan tapi tak berlistrik sama sekali, mungkin saya memang diberi bagian menikmati aliran listrik PLN 24 jam dengan desa besar tengah hutan ini. Kembali ke masalah hujan, sekali ini saya ingin cerita sedikit tentang cuaca.
Cuaca menjadi hal yang saya garisbawahi di tempat saya tinggal saat ini. Jika di daerah pesisir cuaca berpengaruh terhadap besarnya angin, ombak, dan kegiatan menjaring ikan, di tempat saya cuaca berpengaruh terhadap semangat untuk melakukan kegiatan apapun. Jadilah peraturan pertama dalam mengadakan kegiatan di desa adalah harus bersedia “berjudi” dengan cuaca. Disebut “berjudi” karena demi lancarnya mobilisasi untuk mengerjakan suatu aktivitas, kita harus bertaruh apakah di hari H akan turun hujan atau tidak. Saya senang jika hari hujan karena berarti asupan air bersih di rumah tangga tercukupi. Tapi sekaligus sedih karena hujan juga menjadi pematah semangat saat harus berkegiatan. Jalan yang becek biasanya akan disambut dengan alasan pembatalan acara.
Ada beberapa momen “perjudian” yang membuat saya tersenyum lebar, meringis, bahkan terharu. “Perjudian” kami (saya, anak-anak, dan warga desa) dengan cuaca yang meninggalkan senyum  terakhir kali terjadi saat malam takbiran Idul Fitri kemarin. Rencana untuk meramaikan hari raya dengan takbir keliling memang sudah sejak awal bulan Ramadhan. Tapi baru 3 hari menjelang hari raya saya mengumpulkan “bala tentara” dan menanyakan kembali keyakinan mereka untuk men-jadi-kan takbiran keliling atau tidak di ruangan 3x2 yang biasa kami sebut Perpus Matahari.
“Ayo, Ibu tanyakan sekali lagi nih ya. Kalau mau jadi takbiran, ayo kita sama-sama buat obornya, tentukan rutenya. Kalau tidak jadi, ya sudah tidak apa-apa, kita takbir di masjid kita masing-masing”, kata saya kala itu. FYI, masjid di desa tempat saya tinggal jumlahnya ada 3, masing-masing berlokasi di 3 gang panjang yang berbeda yang sering disebut Handil Beringin Mekar, Handil Beringin Mekar, dan Maruat.
Rahmat, Nanda, Tenri, Ayu, dan Wulan, anak-anak SMP yang waktu itu hadir dalam rapat pengambilan keputusan itu pun sejenak ragu. Ada kekhawatiran bahwa takbirannya tidak meriah karena pastilah banyak orang malas keluar rumah karena (takutnya) waktu hari H hujan dan becek. Setelah pertimbangan ini-itu, kami pun ambil keputusan untuk membuat obor bambu terlebih dahulu. Perkara malam takbiran hujan atau becek, itu urusan belakangan. Yes, take a bit risk and do what we can do for now.
Hari Senin panas seharian. Hari Selasa panas seharian. Hari Rabu hujan lebat di pagi hari. Saya cuma bisa menatap langit lalu menatap ke jalanan sambil meringis kecil. Jam berganti jam, sore menjelang, buka puasa terakhir lewat dan saya bersama adik angkat saya, Nanda, pergi ke tempat janji berkumpul untuk takbiran, sekolah. Pringisan saya yang sudah memprediksi hanya sedikit orang yang datang takbiran berganti dengan senyum lebar. Sebanyak 34 orang datang malam itu. J


*nglegawa = berbesar hati/berlapang dada