Selasa, 30 Juli 2013

Duo Cilik Pemberani

“Dan bersama saya Nur Indah dan rekan saya Maya dari kelas 4, kami akan memandu acara perpisahan kelas 6 ini dari awal sampai selesai nanti”.

Cuplikan kalimat pembuka yang dibawakan oleh Indah tersebut mengawali senyum lebar saya di pagi hari itu. Saya baru membagikan naskah pembawa acara pada Indah dan Maya, yang bertugas sebagai pembawa acara, sehari sebelumnya. Walau saya pun bukan seorang presenter handal, apa boleh buat, mereka butuh pelatih untuk simulasi. Hasilnya? Pertama-tama mereka bagaikan robot MC, membawa acara dengan membaca teks persis sama seperti yang saya ketikkan. Kedua kali, saya minta untuk melepas teks sesekali sambil memandang ke para tamu. Masih tetap ke-robot-robot-an. Ketiga kali, sedikit-sedikit bisa lepas teks dan membawa acara dengan bermodalkan hafalan di kepala sesuai teks. Haha.
Time to take some rest, I guess. Di kelas itu tinggal ada kami bertiga dengan kertas-kertas dan pita-pita berserakan untuk hiasan kelas. Murid-murid yang lain sudah pulang lebih dahulu, karena saya janjikan untuk memulai lagi menghias kelas jam 4 sore selepas yasinan. Dan tinggallah Maya dan Indah yang latihan menjadi pembawa acara.
Sambil menempel-nempel kertas dengan selotip bolak-balik, Indah dan Maya berceloteh sambil sesekali menanyakan pendapat ibu gurunya yang sibuk menggambar huruf-huruf tempelan. Dari makanan di rumah sampai jalanan desa yang rusak, dari rasa takut jadi pembawa acara hingga acara perpisahan tahun lalu. Betapa sulitnya menjadi pembawa acara tanpa teks, betapa asingnya kata MC (dibaca emsi) ketika saya gunakan kata itu untuk pengganti kata “pembawa acara” yang terlalu panjang, dan betapa keukeuh-nya mereka memilih tidak pulang untuk berlatih.
Selepas istirahat dan mengoceh sana-sini, mereka latihan lagi. Kali ini, teks masih di tangan tapi pelan-pelan sudah mulai tertutup. Aksen membawakan acara dengan metode menghafal membuat saya tersenyum geli dibuatnya. Saya selipkan gurauan antar presenter juga dalam teks nya, tapi kalau dihafal terdengar tidak alami dan cenderung kaku. Maka saya putuskan untuk mencoba mengganti teks MC itu dengan susunan acara dari pembukaan hingga penutupan. Di akhir latihan, saat mengambil sepeda bersiap mau pulang, Indah bilang, “Aku ngga bilang mamak ah kalau besok jadi pembawa acara”. Timpal Maya, “Iya, aku juga biar kejutan ya Ndah”. Saya ketawa. There is a proud inside, feel it?

***

Pagi hari sebelum tampil, Maya masih sibuk menghafal teks pembawa acara dengan Indah membantu mengingat-ingat di sampingnya. “Deg-deg an bu. Nanti kalau salah-salah gimana?” tanya Maya gugup. Saya berhenti sejenak dari kesibukan mengurus printilan perpisahan dan bilang, “Maya tidak perlu khawatir salah. Indah juga. Maya dan Indah yang sudah berani jadi pembawa acara dan mau berlatih dengan sungguh-sungguh sudah sangat hebat lho. Pasti orangtua kalian juga bangga. Yuk, sekarang ambil mikrofonnya. Kita mulai acaranya. “

Seringkali kita mengabaikan bahwa orang-orang yang jauh lebih muda daripada kita karena merasa kita sudah lebih tahu dari pengalaman. Saya harus mengakui bahwa sumber inspirasi terbaik datangnya dari kerendahan hati dan keberanian yang murni. Indah dan Maya, dalam hal ini, telah meruntuhkan tembok pengabaian itu.

“Di balik dinding malu itu, kamu bisa jumpa dengan keberanianmu. Melompatlah yang tinggi, Nak, tak perlu malu apalagi ragu. ” 

Sepuluh Hari Merenteng Rindu

Balikpapan-Jogja-Jakarta-Bogor-Jakarta-Jogja-Balikpapan.

Kala liburan sekolah, gurunya pun tertarik ikut libur juga. Mau menenangkan diri? Jelas tidak karena liburan si guru justru menuju ke arah keramaian. Mencari inspirasi? Di tempat ini justru berhambur lebih banyak. Menyegarkan kepala? Tentu tidak karena bertemunya dengan kemacetan kota. Menjumput serenteng rindu? Nah mungkin ini sedikit lebih tepat.

Jogja, 20-21 Juli 2013.
Hujan sangat deras. Bau aspal hujan dan bau tanah hujan memang agak berbeda. Hujan di Jogja rasanya hangat, berbeda dengan hujan di desa yang dingin. Dari balik kaca jendela pesawat yang mendarat di Adisucipto, saya membatin : Saya belum pulang. Saya singgah.

Jakarta-Bogor, 22-24 Juli 2013.
Masih macet, padat, dan modern. Singgah saya 3 hari di sana. Cukuplah penuh tubuh saya dengan asap angkot dan kopaja. Mungkin banyak sudah perubahan dimana-mana, mulai dari kawasan belanja elite hingga tarif angkutan kota. Sayangnya, tingkah para penghuninya belum juga berubah-berubah. Haha. Berjalan sendirian melintas kota, bingung cari angkot sambil bawa-bawa ransel gunung saya jalani saja dengan ringan. Bau selokan, genangan air, dan besi kopaja yang karatan tercium jelas setiap kali saya melintas. Sempat dalam sebuah angkutan umum menuju Senen, seorang bocah sekolah memilih berdiri di dekat pintu bis daripada duduk. Keberadaannya agak merepotkan bagi para penumpang yang mau naik bis, saya baca dari kalimat-kalimat yang terlontar dari si supir beberapa kali saat menaik-turunkan penumpang. Hingga akhirnya, jelas betul emosinya sudah memuncak, disuruhlah si anak turun dari bis. Si anak bingung, kelihatan pasrah dengan usiran si supir, akhirnya turunlah ia.
Manusia macam apa yang terlahir setega itu?

Jogja, 25-30 Juli 2013.
Ke Jogja saya (berpikir) selalu ingin pulang. Tapi di dalam pesawat yang membawa saya dari Balikpapan kala itu, saya senang bahwa kali ini saya hanya akan singgah. Beberapa bulan terakhir ini saya jadi menyukai kata “singgah” ini. Singgah berarti hanya sementara, tidak tahu kapan akan pulang, tapi selama masih berkesempatan menetap, kita belajar banyak hal di tempat singgah. Lalu kapan akan pulang? Nanti. Mungkin ke Jogja, atau ke tempat lain dimana saya mungkin akan jatuh cinta.
Saya benci mengatakannya, tapi kota sejuta kenangan dan budaya itu kini menderita macet. Entah karena liburan anak-anak, atau karena memang sudah terlalu banyak “pengembara” yang menggeser pergerakan kota kecil ini. Mengutuk macet juga tiada guna, saya alihkan liburan saya untuk berkunjung ke desa. Jogja ini kaya sekali dengan UKM dan UMKM. Kesempatan sehari libur saya gunakan untuk datang ke Desa Wukirsari, salah satu desa pusat perajin batik tulis dan wayang kulit. Desa di bagian selatan Jogja ini tidak beda dengan desa-desa pada umumnya. Sepi, dengan jalan penghubung selebar satu buah mobil sedan, pohon-pohon bambu dimana-mana, segerombolan sapi ternak dan berpetak-petak sawah di sekelilingnya, dan sesekali terlihat kumpulan warga bercengkrama di sebuah rumah berhalaman rumah luas.
Jogja adalah kotak nostalgia terbaik. Sudutnya tak mengenal “mati”, rusuknya tak habis merangkai cerita, dan sisi permukaannya selalu berganti dengan irisan gambar-gambar manis. Persinggahan singkat kali ini hanya memberi waktu saya untuk hadir di sebuah festival seni budaya dan reuni para musisi lama Indonesia di lapangan sepakbola dekat rumah. Tidak terlalu banyak sudut yang terkunjungi, tapi saya cukupkan untuk menuntaskan rindu dan mengisi tabung-tabung semangat yang sempat kosong untuk jadi penuh lagi.
Ah, kota ini sudah banyak sekali memberi untuk saya.

Mari, kembali.