Sabtu, 23 Februari 2013

Kado Buat Ibu


                      Kalau Himalaya punya puncaknya yang tertinggi di Everest, maka rinduku pun punya puncaknya di bulan ini. Melebihi apapun yang tengah berputar di kepalaku, inginku ucap satu : Selamat ulang tahun, Ibu. 


Tiga puluh tahun. Dan Sinta baru tiga bulan mencoba merasakannya. Tapi dengan kondisi dan situasi yang Sinta yakin jauh lebih baik dari jaman tiga bulan-nya Ibu dulu. Sinta tahu betapa Ibu pun mempertanyakan kenapa Sinta memilih jalan yang ini, karena cukup bercakap dengan Ibu pun sebenarnya Sinta sudah akan bisa tahu.

Menjadi guru. Bukan tentang rasanya menjadi, tapi tentang rasanya melihat anak-anak ini wira-wiri. Menjadi guru. Bukan tentang lamanya mengabdi, tapi tentang seberapa banyak bisa berbagi. Menjadi guru, (tentu saja) bukan tentang gaji, tapi tentang memaknai fonem “mensyukuri”.

Ibu saya yang lugu dan apa adanya, yang tanpa sadar saya pun tumbuh serupa tapi dengan tambahan bandel dan keras kepala di belakangnya. Ibu saya yang sudah jarang masak menjelang saya dewasa tapi tetap rajin masak kalau Lebaran. Ibu saya yang ngga punya fesbuk atau watsap atau twitter tapi (katanya) selalu baca blog saya, how I amaze how you remind me to update my blog frequently.

Selamat ulang tahun, Bu.


Maafkan anakmu yang bandel, serampangan, dan selalu menghindar dari pertanyaan “mau menikah kapan?”  ini yang belum bisa kembali. No more words. Only “Just for my mom” (Cuma Buat Ibuku) for you. Arti lagunya tanya mas Duta atau mas Eross aja ya bu. Haha.
Love you, Bu. :))


22feb2013 –Sheila On 7 – Just for My Mom

Sometimes I feel my heart so lonely but that's ok
 No matter how my girl just left me, I just don't care
 Whenever the rain comes down and it's seems there's no one to hold me
 She's there for me, she's my mom

 Just for my mom, I write this song
 Just for my mom, I sing this song
 Coz just my mom, can wipe my tears
 Coz just my mom, can only here

 Trap in a subway, can't remember the day but I feel ok
 Damped in damn situation, in every condition with no conclusion
 Whenever the rain comes down and it's seems there's none to hold me
 She's there for me, she's my mom

 You may say I have noone, to cover me under the sun
 You only get it from your mom, Mom!



p.s : waktu itu ibu bilang mau tau bentuk sinta sekarang. Nih : tetap sehat dan tetap gendut. Haha

Kamis, 14 Februari 2013

Dia yang Sedang Membaca




Haris.
Empat hari menjelang ujian akhir semester ganjil kemarin, tangan kirinya patah karena salto di dalam kelas saat jam istirahat. Sore harinya sepulang sekolah saya menengoknya di rumah. Kata bapaknya, dia ingin masuk sekolah keesokan harinya. Jelas saja mustahil. Dan dia waktu itu cuma diam saja sambil nonton tivi membiarkan lengan patahnya terkulai di sampingnya.

Hari ini, tangannya sudah hampir sembuh dan setiap saya sapa dia kala berangkat dan pulang sekolah, dia selalu tersenyum lebar menyambutnya.

p.s : Gambar di atas diambil pada minggu ke-2 masukan semester baru. Merupakan salah satu gambar favorit saya selama tiga bulan ini karena...entahlah. Mungkin karena dia sedang membaca dengan sungguh-sungguh. :)


Linda Linda Linda!!!


Karena twitter cuma menyediakan 140 karakter, dan karena baca SMS panjang bikin pusing, maka tulisan pendek rasa-rasanya lebih pas. Buat teman saya yang barusan menikah, Linda. 


Pada hari itu, saya sama sekali nggak menyangka bahwa kesamaan niat kami untuk masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang sama, SKM UGM Bulaksumur, ternyata mengantar kami jadi lebih sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan yang sama di kemudian harinya. Mari kita ingat-ingat : tugas pembawa nampan ijazah kelulusan, jadi panitia ECC, nonton konser Sheila On 7, bahkan sampai topik skripsi kita sama meski kamu lulus lebih dulu daripada saya. Sadar atau tidak, ternyata banyak sekali tali-tali yang menyambungkan empat tahun kita di masa mahasiswa, lho #tsaaah. Kalo ibaratnya kita ini pengrajin kemoceng rafia, maka mungkin kemoceng kita mayoritas warna rafianya sama. Halah.
Saya tidak tahu apakah kamu menikmati semua proses itu seperti saya. Kadangpun, jujur, saya merasa bersalah karena banyak menyeret kamu masuk ke tempat-tempat yang sebenarnya kamu ragu masuki, tapi saya pengaruhi sampai betul terseret. Hahaha.. Kalau betul itu sempat kejadian, saya minta maaf sekalian ya disini. Hehehe. Tapi di luar itu, saya lebih berharap agar kamu membuat porsi irisan “menikmati” yang jauh lebih besar daripada porsi untuk irisan yang lain.

Lalu datanglah hari ini, hari ketika kamu memutuskan untuk menikah.

Well, Linda, tentu saja saya nggak akan tahu kemana kapalmu akan berlayar. Tapi kamu sudah memilih nahkodamu sendiri, dan kapal sendiri untuk berlayar. Menurut saya itu sangat hebat, di kala temanmu yang satu ini masih terlalu senang menumpang kapal lewat, kamu sudah membidik kapal pribadimu sendiri. Hahaaa.. Congratulation, anyway, buat kamu dan suami berdua. Doaku, semoga kalian hidup dalam berkah yang luar biasa, bahagia, dan baik-baik saja. Seperti lagu ini.

Pilih perahu tidaklah mudah
Kita tentu tak mau tenggelam
Perahu ini milik kita
Naiklah  jangan pernah kau turun

Berlayarlah denganku bertumpulah di pundakku
Bersamaku engkau tak perlu ragu
Semuanya ‘kan baik saja

(Berlayar-nya SO7, buat Linda sama Ginsa )

Cuma ini foto yang kupunya li.. :p





Untuk Aksay


Jangan menangis, Sayang
Karena pilumu buatku tersentak
Jangan menangis, Sayang
Karena sedih dalam air matamu
Pasti tak mampu kuganti dengan bahagia yang lebih


Satu lagi bocah menangis saat belajar dengan saya. Prestasi gemilang,  karena sepertinya saya hobi sekali buat anak orang menangis. Apa mungkin itu passion saya? Ah pret.

Tidak ada siapapun yang suka diperintah atau diminta melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Otak akan sangat resisten terhadap hal tersebut. Khawatirnya, ketika tiba di puncak resistensi tersebut, maka rasa kesal juga ikut naik yang berakibat pada tangisan. Sedikit demi sedikit, saya coba ubah pola kebiasaan itu dengan cara lain, salah satunya dengan kata“ayo kita coba dulu”. Kata “kita” ternyata punya efek cukup hebat dalam hal ini. Dengan kata ganti tersebut, seolah-olah orang yang didaulat sebagai objek yang diminta tidak akan merasa harus berjalan sendiri, setidaknya untuk beberapa waktu pertama.

Aksay, kelas 3, membuat saya menyadarinya. Ingat saya tentang anak ini adalah ketika guru wali kelasnya mengakatan bahwa Aksay adalah salah satu anak yang dicap “malas berpikir”. Aksay ini tinggal tak jauh dari rumah host saya. Kerap kali saya bertemu orangtuanya, dan dia pun cukup rajin datang untuk main dan belajar di rumah. Dari yang saya perhatikan, anak ini tak terbiasa diberi tantangan lebih. Yang dia suka hanya tiga : berlari, menggambar, dan perkalian satu angka (perkalian dari  angka 1-9). Dan dia hanya melakukan apa yang dia suka, selesai. Sekali saya coba ajari perkalian yang setingkat lebih maju dan memberikan latihan, dia langsung diam dan menangis. Tuhan, apa salah sayaaa?? Barulah saya dekati dia yang mematung sambil menyembunyikan air matanya yang mengalir jatuh sambil berucap :”Tidak apa, Say. Ayo, kita lajar bersama-sama. “

Lama dia tak bergerak. Saya tinggalkan dia untuk beralih mengurusi yang lain. Ketika menoleh lagi beberapa saat kemudian, Aksay masih juga menangis. Saya diamkan. Namun seiring waktu berlalu, dengan sendirinya dia perlahan kembali ke tengah teman-temannya, mengerjakan kembali tugasnya. Saya perhatikan tiap tingkahnya saat mewarnai pekerjaannya. Rasanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia melakukan tugasnya dengan baik dan gembira, menanyakan beberapa hal yang perlu dilakukan. Heran saya dalam hati, cepat sekali dia pulih dari tangisnya. What a kid.


Melihatnya bekerja lebih mandiri dengan sesekali melongok ke teman di sampingnya buat saya tertawa-tawa kecil sepanjang sisa sore itu. Mungkin bukan karena Aksay “malas berpikir”, melainkan kebutuhan akan sebuah ruang dan kelegaan untuk “melakukan sesuatu”. Dan tentu saja : pembiasaan tanpa paksaan.


Mari Menulis Mimpi

"Kala kulihat layang-layang dapat terbang tinggi namun sesekali goyah dan dia jatuh lagi...." Bermimpi - Base Jam


Tempo hari saat mengisi pelajaran IPA di kelas 6, saya menyisipkan kegiatan menulis mimpi. Berbekal kertas lipat warna-warni, selotip kertas, dan kertas plano selembar, jadilah potongan-potongan mimpi tersebut. Terkejutnya saya adalah bahwa ternyata di usia mereka ini, mimpi itu bukan lagi semata ingin jadi dokter, supir truk, polisi, atau pengemudi jimbo (sejenis traktor pengeruk tanah yang oleh masyarakat setempat dipatenkan nama panggilannya sesuai nama perusahaan pembuatnya, JIMBO). Those dreams are silently created on real paths in their mind.

Ada empat hal yang saya minta mereka tulis di atas kertas lipat. Satu, tentang keinginan atau cita-cita mereka. Dua, tentang usaha mereka mencapainya. Tiga, tentang pelajaran yang paling disukai. Empat, tentang pelajaran yang paling dibenci TAPI ingin bisa menguasai. Kira-kira beginilah jadinya.


 Kalau tak punya mimpi, orang-orang seperti kita ini Cuma akan mati, Boy (Arai – Sang Pemimpi)


Kelas 6, polos dan bergairah. Beberapa yang menarik, here are some of them :


Saya ingin menjadi montir tapi orangtua saya melarang saya disuruh menjadi guru saya tidak bisa menjadi saya harus menjadi guru (Ardiyanto)



Keinginan saya = ingin menjadi Pengajar Muda seperti Ibu Vivin dan Ibu Sinta. Saya ingin meneruskan sekolah saya sampai kuliah. Setelah lulus kuliah saya mau giat belajar menjadi Pengajar Muda. Agar saya bisa menjadi Pengajar Muda saya harus giat dan Rajin belajar (Selviana) 



Keinginan saya : menjadi penghapal Al Quran 30 juz karena saya ingin memasukkan kedua orangtua saya masuk syurga beserta adik, tante, om, nenek, kakek, dan keluarga saya semuanya. Itulah keinginan saya (Hafidzah)




“Keinginan saya adalah ingin menjadi atlit yang sukses” (M. Jaiz)


Tiba di bagian “pelajaran yang paling tidak disuka”, tersebutlah disana Bahasa Inggris sebagai nominasi terbaiknya. Ardiyanto tetap menjadi juara saya dalam hal penyampaian opini pribadi.


Pelajaran Bahasa Inggris tapi saya ingin bisa. Sapa tau ada turis atau buleee datang kesini saya akan tanya how are you tokke tokke you nau (Ardiyanto)


Oh man. Sesungguhnya saya tidak begitu mengerti dan tidak kasih lajar “tokke-tokke you nau”. Tapi apa boleh buat, kadang-kadang imajinasi bisa jauh lebih liar daripada babi hutan.

 Dan satu testimoni lain yang paling membuat kening saya berkerut adalah dari Rahman.

Saya tidak suka pelajaran Bahasa Inggris karena bahasa munafik (Rahman)


Karena sangat penasaran, tanyalah saya pada si penulisnya sendiri. Ternyata pernyataan tersebut dia peroleh dari mulut salah seorang guru. Ujarnya, “ Karena bahasa inggris itu tulisan sama ucapannya berbeda, Bu. Misalnya lima. Tulisannya f-i-v-e tapi bacanya faif bukan fife”. Saya hanya ketawa saja dengar jawaban Rahman yang demikian.  Luar biasa, karena sungguh apa yang dikatakan guru mereka adalah pemahaman mereka, dan mereka mengadopsinya secara alamiah, walau kadang meleset karena dijelaskan secara utuh.

Mungkin sekali mimpi-mimpi dan kesukaan mereka ini berubah nantinya, bukan? Tapi sembari mereka bertumbuh, saya merasa beruntung bisa melihat sebagian prosesnya. 

Minggu, 03 Februari 2013

Janji Ibu Guru


Adalah Risma, gadis Bugis chubby yang tinggal di rumah sebelah, yang menanyai saya ketika saya sedang berkunjung melayat neneknya yang baru saja meninggal. “Kapan kita jalan-jalan lagi, Bu?” Lagi, dia maksudkan karena sudah pernah kami jalan-jalan dengan sepeda waktu kapan hari. Tujuan jalan-jalan kami waktu itu adalah empang (semacam petak kolam atau tambak) di dusun saya, Urip. Berawal dari rasa penasaran saya terhadap ujung dusun yang misterius, berakhir dengan tenggelamnya kaki saya hingga selutut ke dalam lumpur empang sisa hujan semalam sebelumnya.
Pertanyaan Risma membuat saya terdiam beberapa detik. Memang sudah agak lama saya tidak jalan dengan anak-anak, dikarenakan ada liburan antar semester dan kejadian ini itu yang mengharuskan saya tak bisa pulang ke desa cukup lama. Dan setelah memastikan bahwa hari Minggu terdekat masih bebas agenda, segera saya buat kesepakatan untuk jalan di hari tersebut. “Jam 8 saja ya, biar ndak terlalu panas, “ ujar saya kala itu.
Hari Minggu yang dimaksud pun tiba. Jam setengah 7 pagi, ketika saya sudah akan bersiap-siap jalan-jalan, Nanda, adik angkat saya mengajak saya untuk cuci baju di sumur bor. Hari itu sudah sekitar 10 hari hujan tak turun sehingga air hujan yang biasanya digunakan sebagai sumber air bersih untuk mandi, cuci baju, hingga masak, ludes. Akibatnya, sumber air untuk mandi dan cuci baju bergeser ke air sumur pada hari ke-7. Air sumur ini adalah air yang disimpan di galian tanah berbentuk persegi panjang menyerupai kolam, asalnya dari tanah. Rasa air sumur yang sedikit asin dan “berlogam” membuat air ini tidak bisa dibuat memasak. Namun lagi-lagi, karena sudah lamanya tak turun hujan, persediaan air di situ pun menipis sehingga sumur bor lah alternatif ke-3 nya.
Sumur bor ini letaknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah saya, melewati kebun belakang rumah yang penuh pohon kelapa dengan jalur berupa jalan setapak bernyamuk. Jadilah, setelah menimbang-nimbang dan melirik tumpukan cucian di sudut kamar, saya mengiyakan ajakan Nanda dengan perkiraan jam setengah 9 kelar dan bisa memenuhi janji jalan-jalan. Lekas saya ambil baju-baju kotor dan saya rendam selama 30-45 menit. Kemudian, baju hasil rendaman yang sudah diperas dimasukkan ke dalam kantong besar dan diikat di boncengan sepeda. Jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang seperempat ketika saya dan Nanda berangkat.
Ternyata mencuci butuh lebih dari sekedar membilas dan menggosok. Ya mengantri, ya naik turun badan, ya menunggu. Dan karena cucian Nanda sangat banyak, akhirnya kami baru bisa pulang sekitar sejam kemudian. Di tengah jalan pulang, kami disusul oleh dua makhluk kecil berbaju rapi yang mengayuh sepeda. Ternyata mereka sudah menunggu di rumah sejak jam 8, dan karena saya tidak kunjung pulang maka mereka susul saya. Risma dan Doni.
Jalan-jalan yang saya janjikan waktu itu adalah menggunakan sepeda dengan asumsi bahwa Lola sudah diperbaiki. Namun karena si Lola rantainya putus di tengah perjalanan pulang dari mencuci baju di sumur bor tadi, saya pun membatalkan agenda jalan-jalan (ohya, Lola ini adalah nama sepeda saya). Tentu saja usulan ini langsung ditolak mentah-mentah oleh Risma. Segera saja dia menawarkan untuk jalan kaki saja dan mengabarkan bahwa rute jalan yang akan ditempuh tidak terlalu jauh. Doni kecil pun hanya menurut . Saya tersenyum saja dengarnya. Saya tinggalkan mereka untuk menjemur baju, mandi dan sebagainya sampai sejam kemudian baru selesai dengan dugaan mereka akan capek menunggu dan mengurungkan niat jalan-jalan.
Namun apa yang terjadi? Mereka berdua masih nongkrong dengan bahagia di depan TV, menunggu saya selesai mandi dan ganti baju. Akhirnya, atas nama kemanusiaan, saya pun “menjadikan” agenda jalan-jalan hari itu. Walau jam sudah menunjukkan waktu tak layak jalan karena sudah terlampau siang, kami tetap jalan. Sinar matahari terik, ketika dengan lugu Doni berkata sebelum berangkat, “Ibu lama sekali kami tunggu”. Oh God.
Kami memilih untuk jalan ke dusun sebelah lewat jalan tembus hutan. Di tengah jalan, seorang anak ikut bergabung, Mawar namanya. Saya di belakang menyaksikan mereka bercakap banyak sekali. Sesekali mereka tanyai saya, “Ibu suka buah jambu kah? Suka buah belimbing? Suka buah ceri (ceri yang dimaksud ini dikenal luas dengan sebutan kersen atau talok dalam Bahasa Jawa)? Tapi cerinya habis. Ibu suka sirsak? Bu nanti kita beli es ya. Bu istirahat di bawah pohon situ saja naah”, dan seterusnya. Kami berjalan di tengah teriknya matahari yang mulai naik tepat di atas kepala, latihan memotret, beli es, dan melakuan razia ceri di rumah tukang jualan es. Sederhana, tapi saya senang bisa terlaksana. Dalam hati saya berjanji, walau apapun yang terjadi, sebuah janji haram hukumnya untuk diingkari. Menunda janji mungkin bisa saja, tapi tak terpenuhinya janji akan lain lagi persoalannya.
Janji itu seperti matahari ya ternyata. Mengikuti di atas kepala kita dari pagi hingga senja, tak hilang dengan alasan apapun kecuali karena kodratnya berakhir saat waktunya tiba. Kalau janji, berakhir kalau memang kedua pihak (si pemberi janji dan yang diberi janji) lupa.
“Bu, kapan kita ke Muara (desa sebelah yang letaknya sekitar 20 menit naik motor, -Pen)? Katanya kemarin setelah terima rapot, “ celetuk Mawar di tengah jalan pulang.
Saya menatap Mawar sambil tersenyum. “Hmm..iya, terima rapor kenaikan kelas, kan?”


                                                                 Memetik ceri



 Membugkus hasil petikan sendiri


                                                  Tiga tokoh utama