Minggu, 15 Desember 2013

Menjadi Ibu


Usianya hanya terpaut sekitar 10 tahun denganku, dan anaknya sudah dua, Doni (7 tahun) dan Nanda (13 tahun).  Wajahnya belum menampakkan kerutan berarti dan gerak-geriknya sangat cekatan. Nada bicaranya selalu antusias ketika mengetahui sesuatu yang baru dan pernah berkata paling tidak tega melihat anak kucing kedinginan di jalanan. Ia ibuku, ibu angkatku yang selama setahun terakhir ini kurepoti hidupnya dan hidup keluarganya. Namanya Ibu Umi, kalau para tetangga memanggilnya.

Suatu ketika aku sedang membantu anak pertamanya, Nanda,yang sudah SMP kelas 1 mengerjakan PR Bahasa Inggris di dalam kamar. Ibu Umi memanggilku dan menanyakan tentang petunjuk penggunaan suatu alat di buku manual yang bahasa pengantarnya Bahasa Inggris. Selesai membacakan artinya, ibu berkata,
“Kalau Cuma ON sama OFF aku tahu, Sin (karena usia yang terpaut tak jauh, ayah dan ibu angkatku di sini lebih menganggapku sebagai adik mereka, sehingga sering panggil nama). Soalnya di kompor itu juga ada yang buat nyalakan itu.”
“Ooh dulu pernah belajar bahasa Inggris kah?” tanyaku.
“ Dulu waktu sekolah ngaji suka lihat ada guru yang ngasih belajar bahasa Inggris sama anak-anak SMP. Trus aku sering ikut-ikut belajar juga,” jawab ibuku sambil tertawa-tawa sambil mengenang.

Aku seperti bisa membayangkan pada hari itu. Bertahun-tahun yang lalu, Ibu Umi kecil yang habis lulus SD pergi mengaji setiap hari di sebuah pondok ngaji dekat rumahnya alih-alih mengenyam bangku SMP. Sesekali saat istirahat mengaji, ia intip-intip sekolah SMP sebelah yang ada guru yang mengajar Bahasa Inggrisnya. Ia ikut belajar dengan mendengarkan ala kadarnya, dan mengingat sebisanya.
Aku ingin berada pada hari itu. Hari ketika aku melihat seorang gadis kecil dengan tekun menonton anak-anak sebayanya belajar karena rasa ingin tahunya yang besar. Aku ingin bisa menyapanya. Menanyakan siapa namanya, dan mengapa dia tidak ikut masuk ke kelas. Aku ingin membawanya ke sekolah dan melihat dia duduk di salah satu bangkunya.
Tapi....

Gadis kecil itu kini sudah beranjak dewasa. Menjadi wanita dengan dua orang anak yang dicintainya. Menjadi pendongeng ketika malam tiba, temani anaknya yang paling kecil, Doni, berceloteh sesaat sebelum tidur. Menjadi guru yang baik di rumah bagi kedua anaknya. Dan menjadi pembelajar yang baik di setiap kesempatan hidupnya.
Menjadi Ibu.




Selasa, 10 September 2013

Bawah Laut Pertamaku

Selalu ada momen pertama sebelum yang ke-2,ke-3, dan seterusnya hingga menjadi biasa. Untuk sebuah jiwa yang kaya dan pandang yang luas menjangkau sudut-sudut terjauh mata, aku rela menanggalkan segala ketakutanku dan belajar berteman dengan resiko-resiko baru.
Welcome, Freedom!!

Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa kawan sempat berjalan-jalan ke daerah Tarakan. Sebelumnya, Tarakan merupakan sebuah kabupaten di provinsi Kaimantan Timur. Tapi belakangan saya tahu bahwa saat ini sudah terbentuk provinsi baru yaitu Kalimantan Utara (atau disebut Kaltara) dan Tarakan menjadi salah satu kabupaten yang tergabung di dalamnya.
Semenjak perjalanan menegangkan akibat turbulensi hebat di pesawat saat pertama berangkat bertugas dulu dan perjalanan random ke Banjarmasin, perjalanan menegangkan berikutnya adalah ke Tarakan ini. sebenarnya Tarakan hanya sekedar persinggahan, karena tujuan sebenarnya adalah pulau-pulau kecil bernama Derawan, Kakaban, Maratua, dan Sangalaki.

1.       Saya belum pernah dibonceng naik motor dan hampir ditinggalkan di jalan. Tapi bersama Rara, teman sepenempatan saya, saya jadi pernah sekalinya. Itu juga gara-gara kami berdua dengan bawaan riweuh melewati jalanan desa yang berlubang-lubang dalam, gas motor tak cukup kuat, maka saya pun berinisiatif langsung turun dari motor untuk memperingan beban motor meloloskan diri dari lubang. Lalu dari tempat saya turun, saya perhatikan Rara bercakap-cakap entah dengan siapa, mengingat saat itu tak ada pengendara lain selain kami sementara saya memperhatikannya sambil melongo. Dan ternyata seperti adegan film komedi, dia benar-benar menyangka bahwa saya masih duduk manis di belakangnya. Paraaaaahh...-_____-

2.       Snorkling
Seorang teman saya adalah pecinta laut. Kampung halamannya di Kalimantan, dan setiap kali pulang dia sering bercerita tentang perjalanannya menjumpai laut-laut asing. Sesekali dia mengirimkan saya foto hasil buruannya saat menyelam via salah satu media layanan obrol berbasis internet. Sesekali pula dia memberikan gambar lokasi pendaratannya. Pantai yang biru, pasir yang putih, jangkau pandang yang luas,para penghuni laut yang “ajaib” membuat saya tidak habis bertanya kapan saya bisa berada di tempat yang sama. Dan baru saat momen snorkling saya yang pertama, saya mulai “agak” mengerti kenapa dia bisa tergila-gila dengan laut dan seisinya.
Snorkling pertama saya di Pulau Maratua, sekitar 60 menit dari Pulau Derawan. Disambut dermaga dan resort megah milik *ehm* warga negara Malaysia, Peter (guide kami saat itu) mengatakan bahwa boat kami tidak bisa bersandar. Tidak boleh, lebih tepatnya. Oleh karena itu, sekitar 100 meter dari resort tersebut boat kami berhenti dan menurunkan penumpangnya, diantaranya saya. Saya pasang snorkel pertama saya dengan gugup di tempatnya. Seperti orang udik yang baru pertama naik lift, kira-kira itu perasaan saya ketika melongokkan kepala ke dalam air dan bisa bernapas dengan lega selama lebih dari 30 detik.
There was no word can describe what i exactly felt, at that moment, but H-A-P-P-Y. Saya letakkan perasaan takut di bawah lindungan jaket pelampung dan mulai merasakan nikmatnya melihat “dunia baru” sambil (karena belum ahli) merasakan asinnya air laut. Oh, ini rupanya yang namanya snorkling.


-Pulau Maratua-

3.       Menyentuh ubur-ubur
Saya melihat bentuk makhluk bernama ubur-ubur dari buku IPA waktu duduk di bangku SMP. Dan pertama kali menyentuh ubur-ubur dalam wujud aslinya adalah sekitar 10 tahun kemudian. Itu pun langsung dihadapkan dengan ubur-ubur tanpa sengat yang populasinya melimpah dan hanya ada di 2 lokasi di dunia. Salah satunya di Pulau Kakaban di sekitar Derawan ini. What a great day it was. Rasanya pingin berlama-lama berenang di laguna itu, mencari keempat spesies ubur-ubur tanpa sengat yang berdiam di sana dan tidur-tiduran di atas air sampai menjelang sore.

4.       Memegang (anak) penyu
Yap. Hampir segala yang saya lakukan pada liburan 3 hari itu adalah yang pertama kalinya. Penyu yang (lagi-lagi) Cuma sempat saya pernah amati dari TV dan buku, anakannya bisa tersentuh juga. Geli-geli lembek. Haha.

5.       Speedboat malam jam 9 selama 15 menit yang terasa seperti 1 jam
Karena liburan berakhir tepat sehari sebelum masuk sekolah, mau tak mau saya dan teman-teman harus buru-buru pulang semalam sebelumnya. Tanpa babibu lagi, menyeberang dari Balikpapan ke Penajam pakai speedboat pun kami jalani. Hari-hari itu ombak sedang sangat menggila. Bahkan ketika dari Derawan ke Tarakan (transit pesawat kami di Tarakan untuk menuju Balikpapan), speedboat yang membawa kami berguncang demikian kerasnya.

Dan kali ini, kami jalan malam hari. Berbekal rompi pelampung dan gadget yang sudah dibungkus dry bag, komat-kamit sudah mulut saya sepanjang perjalanan 15 menit di atas air di malam itu. Untunglah si supir lihai. Jadinya kami pun dengan bergemeletuk antara ke-angin-an dan tegang sampai juga di seberang.

                                       -Piknik ke SD setempat-



Waktu Mereka Ikut Lomba


Akhir April lalu, saya berkesempatan mengajak anak-anak murid saya yang lolos ke tahap semifinal sebuah lomba sains ke ibukota Kabupaten Paser, Tana Paser. Babak semifinal ini adalah lanjutan dari babak penyisihan tingkat kecamatan yang sudah diadakan sebulan sebelumnya. Secara mengejutkan, 14 dari 22 murid yang ikut seleksi tingkat kecamatan lolos ke babak semifinal. Dan jadilah kami beramai-ramai menginjak ibukota kabupaten nan ramai dan gemerlap.
Jarangnya mereka menginjak daerah perkotaan betul-betul membangkitkan rasa penasaran mereka yang terpendam. Jalan-jalan di malam hari menikmati kota menjadi satu pilihan hiburan aman saya untuk melepas lelah mereka setelah perjalanan jauh dengan mobil desa yang disertai muntah massal.
Di ibukota kabupaten ini ada satu tempat menarik yang sering saya dengar disebut dengan MTQ. Bangunannya bercat ungu dengan serambi di kedua pingginya dan lapangan keramik terbuka di tengahnya, hampir seluas lapangan sepakbola. Ketika malam tiba, tempat ini menjadi pusat kegiatan anak muda yang dinamis. Malam itu, saya melihat anak-anak begitu tertarik memperhatikan sekumpulan anak muda yang berjoged dengan radio tape yang memutar musik bergenre RnB. Tak jauh dari situ, kumpulan muda-mudi lain sedang latihan tari juga. Tak tertinggal kapoera, dimana saya dan anak-anak sempat minta diajari satu gerakan dasar oleh mereka. Fun!
Bertandang ke kota kabupaten mengiring anak-anak yang super penasaran menjadi keasyikan tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak tertangkap di sudut mata mereka di desa, sehingga membuat kunjungan ini begitu punya makna. Anak-anak ini bahkan sudah bangun sejak jam 3 pagi di hari H lombanya dan sudah rapi jali di kala gurunya yang satu ini baru memicingkan mata untuk mengenali datangnya matahari.
Sebulan kemudian, yaitu bulan Mei, pengumuman peserta yang lolos babak final pun datang. Dengan hati berdebar saya cermati nama-nama peserta yang lolos. Namun nasib baik belum juga datang, tak satu pun dari nama-nama itu terdengar familiar bagi saya. Empat belas mutiara kecil saya belum berkesempatan pergi ke tanah Jawa. Sedih, jelas iya. Tapi ketika mengabarkan hal ini pada mereka, saya tiba-tiba terkesiap sendiri.
Bukan, bukan titel kemenangan yang mengisi binar mata itu. Binar-binar mata itu berisi hari-hari ketika kami belajar bersama di sawah, di kelas, berjalan-jalan di sekitar sekolah, melakukan percobaan, perjalanan panjang ke Grogot untuk mengikuti lomba semifinal, dan lain-lain. Kemenangan adalah hal yang sangat baik. Dan tentu saja, menyenangkan. Tapi ketika berhasil mengalahkan ego masing-masing dan mau berrela hati untuk tinggal di sekolah sementara teman-temannya yang lain sudah pulang, selama berhari-hari, saya menyadari bahwa titel juara sudah melekat saat itu juga pada mereka.




“BERJUDI” DENGAN CUACA (1)



“Bersyukurlah, karena dimanapun kamu berada, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, itu adalah tempat terbaikmu berada.”

Seperti menerima guyuran air hujan setelah kemarau berhari-hari, kalimat singkat Bang Ade (rekan dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta) yang sedang mengunjungi saya dan teman-teman di Paser ini terasa se-menyegarkan itu. Bukan kalimat luar biasa sih sebenarnya, tapi di dalam kondisi kami, para pengajar muda, yang cuma punya 9 orang terdekat dalam jangkauan geografis untuk saling menguatkan ini, tambahan amunisi satu “peluru” ini cukup membuat pundak ini terangkat lebih ringan. Dan lebih nglegawa*, kalau orang Jawa bilang.
Meski pundak terangkat lebih ringan, guyuran hujan yang sesungguhnya justru membuat langkah kaki kami, warga desa Maruat, semakin berat. Literally, karena jalanan desa yang becek, licin, dan lengket terutama sejak bulan ke-4 yang lalu. Mau jalan kaki, naik sepeda, atau naik motor, jatuh berlumpur-lumpur sudah pernah saya alami melalui ketiga “metode” di atas. Hahaha. Ternyata 7 tahun berkendara motor kesana-sini belum cukup hebat untuk bertahan hidup di jalanan di sini.
Lagi, setiap tempat memiliki tantangan yang pas bagi penghuninya masing-masing. Kalau ada rekan yang ditantang untuk hidup di pesisir dengan kemampuan berenang nol sama sekali, atau di desa yang alat transportasinya hanya dengan ketinting (kapal kayu kecil bermuatan maks 5-6 orang dewasa), atau di desa dekat pusat pemerintahan tapi tak berlistrik sama sekali, mungkin saya memang diberi bagian menikmati aliran listrik PLN 24 jam dengan desa besar tengah hutan ini. Kembali ke masalah hujan, sekali ini saya ingin cerita sedikit tentang cuaca.
Cuaca menjadi hal yang saya garisbawahi di tempat saya tinggal saat ini. Jika di daerah pesisir cuaca berpengaruh terhadap besarnya angin, ombak, dan kegiatan menjaring ikan, di tempat saya cuaca berpengaruh terhadap semangat untuk melakukan kegiatan apapun. Jadilah peraturan pertama dalam mengadakan kegiatan di desa adalah harus bersedia “berjudi” dengan cuaca. Disebut “berjudi” karena demi lancarnya mobilisasi untuk mengerjakan suatu aktivitas, kita harus bertaruh apakah di hari H akan turun hujan atau tidak. Saya senang jika hari hujan karena berarti asupan air bersih di rumah tangga tercukupi. Tapi sekaligus sedih karena hujan juga menjadi pematah semangat saat harus berkegiatan. Jalan yang becek biasanya akan disambut dengan alasan pembatalan acara.
Ada beberapa momen “perjudian” yang membuat saya tersenyum lebar, meringis, bahkan terharu. “Perjudian” kami (saya, anak-anak, dan warga desa) dengan cuaca yang meninggalkan senyum  terakhir kali terjadi saat malam takbiran Idul Fitri kemarin. Rencana untuk meramaikan hari raya dengan takbir keliling memang sudah sejak awal bulan Ramadhan. Tapi baru 3 hari menjelang hari raya saya mengumpulkan “bala tentara” dan menanyakan kembali keyakinan mereka untuk men-jadi-kan takbiran keliling atau tidak di ruangan 3x2 yang biasa kami sebut Perpus Matahari.
“Ayo, Ibu tanyakan sekali lagi nih ya. Kalau mau jadi takbiran, ayo kita sama-sama buat obornya, tentukan rutenya. Kalau tidak jadi, ya sudah tidak apa-apa, kita takbir di masjid kita masing-masing”, kata saya kala itu. FYI, masjid di desa tempat saya tinggal jumlahnya ada 3, masing-masing berlokasi di 3 gang panjang yang berbeda yang sering disebut Handil Beringin Mekar, Handil Beringin Mekar, dan Maruat.
Rahmat, Nanda, Tenri, Ayu, dan Wulan, anak-anak SMP yang waktu itu hadir dalam rapat pengambilan keputusan itu pun sejenak ragu. Ada kekhawatiran bahwa takbirannya tidak meriah karena pastilah banyak orang malas keluar rumah karena (takutnya) waktu hari H hujan dan becek. Setelah pertimbangan ini-itu, kami pun ambil keputusan untuk membuat obor bambu terlebih dahulu. Perkara malam takbiran hujan atau becek, itu urusan belakangan. Yes, take a bit risk and do what we can do for now.
Hari Senin panas seharian. Hari Selasa panas seharian. Hari Rabu hujan lebat di pagi hari. Saya cuma bisa menatap langit lalu menatap ke jalanan sambil meringis kecil. Jam berganti jam, sore menjelang, buka puasa terakhir lewat dan saya bersama adik angkat saya, Nanda, pergi ke tempat janji berkumpul untuk takbiran, sekolah. Pringisan saya yang sudah memprediksi hanya sedikit orang yang datang takbiran berganti dengan senyum lebar. Sebanyak 34 orang datang malam itu. J


*nglegawa = berbesar hati/berlapang dada

Selasa, 30 Juli 2013

Duo Cilik Pemberani

“Dan bersama saya Nur Indah dan rekan saya Maya dari kelas 4, kami akan memandu acara perpisahan kelas 6 ini dari awal sampai selesai nanti”.

Cuplikan kalimat pembuka yang dibawakan oleh Indah tersebut mengawali senyum lebar saya di pagi hari itu. Saya baru membagikan naskah pembawa acara pada Indah dan Maya, yang bertugas sebagai pembawa acara, sehari sebelumnya. Walau saya pun bukan seorang presenter handal, apa boleh buat, mereka butuh pelatih untuk simulasi. Hasilnya? Pertama-tama mereka bagaikan robot MC, membawa acara dengan membaca teks persis sama seperti yang saya ketikkan. Kedua kali, saya minta untuk melepas teks sesekali sambil memandang ke para tamu. Masih tetap ke-robot-robot-an. Ketiga kali, sedikit-sedikit bisa lepas teks dan membawa acara dengan bermodalkan hafalan di kepala sesuai teks. Haha.
Time to take some rest, I guess. Di kelas itu tinggal ada kami bertiga dengan kertas-kertas dan pita-pita berserakan untuk hiasan kelas. Murid-murid yang lain sudah pulang lebih dahulu, karena saya janjikan untuk memulai lagi menghias kelas jam 4 sore selepas yasinan. Dan tinggallah Maya dan Indah yang latihan menjadi pembawa acara.
Sambil menempel-nempel kertas dengan selotip bolak-balik, Indah dan Maya berceloteh sambil sesekali menanyakan pendapat ibu gurunya yang sibuk menggambar huruf-huruf tempelan. Dari makanan di rumah sampai jalanan desa yang rusak, dari rasa takut jadi pembawa acara hingga acara perpisahan tahun lalu. Betapa sulitnya menjadi pembawa acara tanpa teks, betapa asingnya kata MC (dibaca emsi) ketika saya gunakan kata itu untuk pengganti kata “pembawa acara” yang terlalu panjang, dan betapa keukeuh-nya mereka memilih tidak pulang untuk berlatih.
Selepas istirahat dan mengoceh sana-sini, mereka latihan lagi. Kali ini, teks masih di tangan tapi pelan-pelan sudah mulai tertutup. Aksen membawakan acara dengan metode menghafal membuat saya tersenyum geli dibuatnya. Saya selipkan gurauan antar presenter juga dalam teks nya, tapi kalau dihafal terdengar tidak alami dan cenderung kaku. Maka saya putuskan untuk mencoba mengganti teks MC itu dengan susunan acara dari pembukaan hingga penutupan. Di akhir latihan, saat mengambil sepeda bersiap mau pulang, Indah bilang, “Aku ngga bilang mamak ah kalau besok jadi pembawa acara”. Timpal Maya, “Iya, aku juga biar kejutan ya Ndah”. Saya ketawa. There is a proud inside, feel it?

***

Pagi hari sebelum tampil, Maya masih sibuk menghafal teks pembawa acara dengan Indah membantu mengingat-ingat di sampingnya. “Deg-deg an bu. Nanti kalau salah-salah gimana?” tanya Maya gugup. Saya berhenti sejenak dari kesibukan mengurus printilan perpisahan dan bilang, “Maya tidak perlu khawatir salah. Indah juga. Maya dan Indah yang sudah berani jadi pembawa acara dan mau berlatih dengan sungguh-sungguh sudah sangat hebat lho. Pasti orangtua kalian juga bangga. Yuk, sekarang ambil mikrofonnya. Kita mulai acaranya. “

Seringkali kita mengabaikan bahwa orang-orang yang jauh lebih muda daripada kita karena merasa kita sudah lebih tahu dari pengalaman. Saya harus mengakui bahwa sumber inspirasi terbaik datangnya dari kerendahan hati dan keberanian yang murni. Indah dan Maya, dalam hal ini, telah meruntuhkan tembok pengabaian itu.

“Di balik dinding malu itu, kamu bisa jumpa dengan keberanianmu. Melompatlah yang tinggi, Nak, tak perlu malu apalagi ragu. ” 

Sepuluh Hari Merenteng Rindu

Balikpapan-Jogja-Jakarta-Bogor-Jakarta-Jogja-Balikpapan.

Kala liburan sekolah, gurunya pun tertarik ikut libur juga. Mau menenangkan diri? Jelas tidak karena liburan si guru justru menuju ke arah keramaian. Mencari inspirasi? Di tempat ini justru berhambur lebih banyak. Menyegarkan kepala? Tentu tidak karena bertemunya dengan kemacetan kota. Menjumput serenteng rindu? Nah mungkin ini sedikit lebih tepat.

Jogja, 20-21 Juli 2013.
Hujan sangat deras. Bau aspal hujan dan bau tanah hujan memang agak berbeda. Hujan di Jogja rasanya hangat, berbeda dengan hujan di desa yang dingin. Dari balik kaca jendela pesawat yang mendarat di Adisucipto, saya membatin : Saya belum pulang. Saya singgah.

Jakarta-Bogor, 22-24 Juli 2013.
Masih macet, padat, dan modern. Singgah saya 3 hari di sana. Cukuplah penuh tubuh saya dengan asap angkot dan kopaja. Mungkin banyak sudah perubahan dimana-mana, mulai dari kawasan belanja elite hingga tarif angkutan kota. Sayangnya, tingkah para penghuninya belum juga berubah-berubah. Haha. Berjalan sendirian melintas kota, bingung cari angkot sambil bawa-bawa ransel gunung saya jalani saja dengan ringan. Bau selokan, genangan air, dan besi kopaja yang karatan tercium jelas setiap kali saya melintas. Sempat dalam sebuah angkutan umum menuju Senen, seorang bocah sekolah memilih berdiri di dekat pintu bis daripada duduk. Keberadaannya agak merepotkan bagi para penumpang yang mau naik bis, saya baca dari kalimat-kalimat yang terlontar dari si supir beberapa kali saat menaik-turunkan penumpang. Hingga akhirnya, jelas betul emosinya sudah memuncak, disuruhlah si anak turun dari bis. Si anak bingung, kelihatan pasrah dengan usiran si supir, akhirnya turunlah ia.
Manusia macam apa yang terlahir setega itu?

Jogja, 25-30 Juli 2013.
Ke Jogja saya (berpikir) selalu ingin pulang. Tapi di dalam pesawat yang membawa saya dari Balikpapan kala itu, saya senang bahwa kali ini saya hanya akan singgah. Beberapa bulan terakhir ini saya jadi menyukai kata “singgah” ini. Singgah berarti hanya sementara, tidak tahu kapan akan pulang, tapi selama masih berkesempatan menetap, kita belajar banyak hal di tempat singgah. Lalu kapan akan pulang? Nanti. Mungkin ke Jogja, atau ke tempat lain dimana saya mungkin akan jatuh cinta.
Saya benci mengatakannya, tapi kota sejuta kenangan dan budaya itu kini menderita macet. Entah karena liburan anak-anak, atau karena memang sudah terlalu banyak “pengembara” yang menggeser pergerakan kota kecil ini. Mengutuk macet juga tiada guna, saya alihkan liburan saya untuk berkunjung ke desa. Jogja ini kaya sekali dengan UKM dan UMKM. Kesempatan sehari libur saya gunakan untuk datang ke Desa Wukirsari, salah satu desa pusat perajin batik tulis dan wayang kulit. Desa di bagian selatan Jogja ini tidak beda dengan desa-desa pada umumnya. Sepi, dengan jalan penghubung selebar satu buah mobil sedan, pohon-pohon bambu dimana-mana, segerombolan sapi ternak dan berpetak-petak sawah di sekelilingnya, dan sesekali terlihat kumpulan warga bercengkrama di sebuah rumah berhalaman rumah luas.
Jogja adalah kotak nostalgia terbaik. Sudutnya tak mengenal “mati”, rusuknya tak habis merangkai cerita, dan sisi permukaannya selalu berganti dengan irisan gambar-gambar manis. Persinggahan singkat kali ini hanya memberi waktu saya untuk hadir di sebuah festival seni budaya dan reuni para musisi lama Indonesia di lapangan sepakbola dekat rumah. Tidak terlalu banyak sudut yang terkunjungi, tapi saya cukupkan untuk menuntaskan rindu dan mengisi tabung-tabung semangat yang sempat kosong untuk jadi penuh lagi.
Ah, kota ini sudah banyak sekali memberi untuk saya.

Mari, kembali. 

Minggu, 09 Juni 2013

Angkasa, Aksara, Samudera

Ada ikatan kain seukuran badan bayi tercantol di atap dengan pegas. Naik, turun, naik, turun dengan seorang bayi tergolek pulas di dalamnya. Oh, ternyata dia sedang “naik ayun”. Sssssttt...

Istilah yang biasa terdengar di kalangan orang Jawa untuk memperingati 35 hari kelahiran seorang bayi adalah selapanan. Di sini, Kalimantan, jarang sudah istilah itu saya dengar. Alih-alih “selapanan”, kelahiran sang bayi biasanya diperingati dengan “naik ayun”. Inti keduanya sebenarnya sama, diadakan jika orangtua mau dan mampu serta diniati untuk bersyukur atas kelahiran si bayi dengan ritual makan-makan dan baca doa. Belakangan baru saya tahu bahwa budaya “naik ayun” ini juga sekaligus budaya “peresmian nama” untuk si bayi. Yah, walaupun tentu saja nama si bayi sudah ada sejak 2-3 hari semenjak dia lahir, tapi tetap : nama adalah sebuah doa. Dia memerlukan amin untuk melengkapi harapan orangtuanya yang dititipkan di dalamnya, right?

Normal adalah jika orang tua memberikan nama 2-3 hari setelah bayinya lahir. Tapi bagaimana dong, jika dalam pikiran saya yang masih belum tahu kapan punya anak sendiri ini, tidak pernah berhenti terlintas 3 nama? Bolehlah dibilang saya sinting atau terlalu mengada-ada. Tapi sungguh, secara iseng sambil bersepeda atau melamun di “taksi”, saya seringkali bermimpi suatu saat nanti saya memiliki seorang Angkasa yang tenang dan bijak, seorang Aksara dunianya berjalan dalam bait kata-kata, dan seorang Samudera yang selalu penasaran.
Keluarga, boleh jadi diawali dari mengocok tiga nama. Boleh pula diawali di ruang keluarga atau di teras rumah. Calon keluarga saya, awal dan akhirnya adalah Angkasa, Aksara, dan Samudera. Insya Allah.

*sebuah tulisan kecil untuk Ibu saya di rumah. Jangan khawatir anakmu tidak mau menikah, Bu, karena itu tidak benar. Tenanglah, pasti semua ada waktunya.  Nih aku kasih calon nama anak-anak dulu. Nama calon suaminya belakangan. Hihihi. Love you Mom. J

**Fathers, be good to your daughters
Daughters will love like you do
Girls become lovers who turn into mothers
So mothers be good to your daughters too

(John Mayer – Daughters)

Rabu, 01 Mei 2013

Love to Teach? Come come...

Do you thinks it's kinda social working?
No it isn't.
It's a family.



Really.
Come, join.

Selasa, 09 April 2013

Diuji Nasrini


Terakhir kali saya diuji, saya berada di sebuah ruangan kecil dan dihujani pertanyaan serta sanggahan mengenai isi skripsi oleh dosen penguji. Lalu di sini, hampir setiap malam saya “diuji” oleh siswa sendiri. Namanya Nasrini.

Siswi kelas 6 yang kesehariannya lebih akrab dipanggil Neneng ini hampir tak pernah absen berkunjung ke rumah saya. Bicaranya banyak sekali, hingga semua yang saya lakukan dikomentarinya habis tanpa malu-malu.
“Bu, kok kamarnya berantakan sekali?”
Atau, “Ibu jangan pakai baju yang itu. Jelek betul dilihatnya. Ini pakai yang ini saja, lebih cantik pakai baju yang ini. “
Atau, “Bu, kok rambutnya dipotong? Pendek betul. Jelek. “
Atau begini. “Ibu sekarang sudah hitam kulitnya, tinggal di desa, panas-panas, ndak makan enak seperti di kota. Seperti yang di TV itu ya Bu, yang Jika aku Menjadi itu.”
 Kadang buat saya agak risih, tapi akhirnya saya cuma senyum saja sambil menghela nafas dan bersiul-siul sampai akhirnya keluar komentar satu lagi (“Bu jangan bersiul malam-malam begini. Manggil setan itu namanya”). Sebenarnya tidak aneh mendengar celetukan jujur anak-anak seusianya. Tapi yang buat saya janggal adalah karena Neneng ketika di rumah berbeda dengan Neneng di sekolah.
Neneng  duduk di kelas 6 sekarang. Dengan anak-anak kelas 6, interaksi saya terbatas hanya mengajar Bahasa Inggris dan les matematika seminggu sekali. Di sekolah, Neneng bukan tipe anak yang banya bicara dan teman bermainnya pun terbatas. Ketika anak-anak lain bermain dan berteriak-teriak sesuka hati, Neneng cenderung menjadi kikuk dan diam. Hingga pernah suatu hari ketika sedang menunggu les,di kala anak-anak lain asyik main sepeda dan berteriak-teriak di luar, dia mendatangi saya di kantor.
“Lho Neneng nda ikut main sama teman-teman? Masih istirahat kok ini, ” tanya saya.
Neneng menggeleng. “Mau sama Ibu saja, “ jawabnya.
“Hahaha. Kenapa malah main sama Ibu? Kenapa ndak sama teman-teman saja?” tanya saya lagi.
“Saya malas bermain dengan anak-anak itu, habis mereka selalu olok-olok saya. Kalau ibu kan enggak, “ jawabnya.
Lonceng sekolah seperti berbunyi nyaring sekali di kepala saya. Seketika “ujian” mengenal Neneng mendadak dihentikan sejenak.

Mohon sudah semua prasangka kamu buang
Satu kata darimu itu adalah ruang
Dimana kamu bisa makin muram ataupun girang
Tinggal kamu pilih yang mana, Sayang
                Buat apa lelah kau pikirkan
                Ayo jalan dan kita buat ruang nyaman
                Agar aku dan kamu tak lagi segan
                Memugar mimpi, menyusun balok-balok masa depan




Mengukur Perjalanan


Nilai itu bukan dari angka-angka di atas kertas. Nilai itu asalnya dari hati.
Sebuah kuotasi milik Bapak Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Gantong di dalam film Laskar Pelangi itu menghentak saya. Tengah asyik menelusuri penggalan-penggalan dialog film yang sempat saya simpan di salah satu folder komputer jinjing saya, di kalimat itu mata saya terhenti. Lama.
Saya rasanya harus menginjak pedal rem dalam-dalam sekaligus menarik rem tangan untuk segera berhenti saat itu juga. Sebelum berlalu terlalu jauh dan sebelum terlalu asyik merencanakan ini-itu, kembali saya diingatkan untuk melakukan hal satu ini : refleksi. Setelah cukup lama berjalan, agaknya sudah waktunya untuk beristirahat sambil berkompromi dengan diri sendiri. Tidak, tidak sedalam filsuf saya bisa berpikir mendalam. Cukup berpikir ringan, tapi membuka semua celah utnuk dimasuki dan dikoreksi.
Setiap habis ulangan atau tugas, sebuah nilai akan terpampang rapi di bawah jawaban terakhir sebagai cerminan dari pekerjaan murid saya pada kala itu. Biasanya, saya memberikan pengurangan poin 2,5 per kesalahan untuk nilai maksimum 100. Kemudian di samping nilai akan ada gambar orang mungil dengan ekspresi muka berbeda-beda tergantung berapa nilainya, berikut balon kata-kata dengan kata penyemangat. Kemudian anak-anak itu akan mengambil bukunya masing-masing dan membandingkan dengan teman-temannya. Sudahkah tugas belajar itu selesai di situ dan diukur ketika ulangan?
Nilai nyatanya memang menjadi salah satu data terukur untuk mempertanggungjawabkan kinerja mengajar guru di kelas. Tapi saya masih mencari tahu apakah nilai-nilai “yang lain” juga sudah tertanam pada mereka, dan kalau sudah bisa diukur dengan cara apa. Saya masih sibuk mencari-cari cara yang ternyata dengan berhenti sejenak di tengah perjalanan panjang ini, saya disadarkan bahwa nilai “yang itu” tidak dicari tapi dimunculkan. Jelas, karena asalnya dari hati, maka sepanjang saya sedang tidak memberikan nilai angka di atas kertas, maka selama itulah nilai-nilai yang berasal dari hati mencetak rapornya.
Dan sudah sampai sejauh mana hatimu bekerja, Sin?

Perlahan saya angkat pedal rem dan melepas rem tangan untuk memulai melaju lagi. Saya belum tahu akan harus berhenti dimana lagi, tapi saya pasti akan lebih sering berhenti untuk melihat apa saja yang sudah terlalui. Tidak apa-apa agak lebih lama sampai tujuan, tapi saya yakin bahwa setiap pondasi jalan yang saya lalui aman sehingga suatu hari anak-anak saya bisa melewatinya dengan lancar, bahkan mengembangkannya menjadi lebih baik lagi. Karena sekali lagi, pondasi itu hendaknya dibangun dari hati, bukan melulu dari tambah-kurang-bagi-kali.

MARI MENULIS CERITA PENDEK (sebuah ajakan bermain)


Konsep menulis bersama ini awalnya kepikiran dari novel berisi kumpulan cerita pendek Djenar Maesa Ayu, “1 Perempuan 14 Laki-laki”. Bagi Anda yang sudah pernah membaca seri Djenar yang ini pasti tau bahwa dalam setiap cerpen di bukunya itu adalah hasil karya bersama dengan “seseorang yang lain”. Unik, dua pikiran berbeda, dua profesi berbeda, dua budaya berbeda, dan dua-dua yang berbeda lainnya melebur menjadi satu tulisan yang padu. Namun dalam “sayembara” kali ini, tentu saja yang paling mencolok adalah dua usia yang berbeda. Anak-anak murid saya, dan Anda. J

Berangkat dari situ, saya ingin ajak teman-teman untuk menulis cerpen bersama, sekaligus berkomunikasi dengan para penulis cilik ini. Kalau metode kirim surat dan kartu pos sudah kerap dilakukan, bagaimana dengan kirim-kiriman cerpen? Mari kita cari tahu jawabannya.

 Aturan menulis :
Mari kita buat yang sederhana saja ya.

1.     Anak murid saya akan menuliskan paragraf awal sebuah cerita yang mana cerita ini sifatnya unfinished atau belum terselesaikan. Bagian tengah hingga akhirnya, Anda yang bertugas meneruskan.  Isi BEBAS, tapi tetap bergenre anak-anak (halah emange lagu?) dan tidak mengandung SARA.

2.      Panjang paragraf yang boleh Anda tulis : BEBAS, ya sekitar 100-150 kata.

3.       Saya akan kirimkan cerita anak-anak yang masih setengah jadi itu melalui email. Selain cerita, di situ akan ada foto si anak serta biodata dia secara singkat. Anda bisa berkenalan dengan para penulis cilik ini lewat situ.

4.       Pada email balasan Anda, selain mengirim cerita balasan, kirimlah juga foto Anda dan paragraf singkat yang berisi cerita tentang Anda serta kesan pesan Anda buat partner menulis Anda. Mengenai foto, tidak harus melulu foto diri Anda. Bisa saja Anda dengan latar tempat kerja Anda, Anda dan binatang peliharaan, atau APAPUN yang mewakili Anda untuk dikenal lebih dekat oleh mereka.

5.       Cerita Anda dan anak murid akan diberi judul oleh anak murid partner Anda disini, segera setelah dia membaca lanjutan cerita yang Anda tulis.

6.       Tulisan tersebut nantinya akan dibaca dan dinilai oleh warga sekolah. Tiga tulisan yang terpilih akan ada rewardnya, Hehe  

Jadi, alurnya :
Siswa (buat cerita awal+biodata+foto) à berikan ke PM (Pengajar Muda, dalam hal ini saya) à PM mengirimkan ke email Anda- à Anda menulis ceritaà kirim balik (beserta foto+pesan kesan) à anak murid membaca ending dari ceritanyaa masing-masing dan memberikan judul untuk cerita tersebut à izin publish ya, kakak-kakak..

Ohya, ada juga yang bertanya : apa pembelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan ini?
Secara ringkas saya jawab
1.       Latihan menulis runtut dan logis (pengembangan hardskill menulis buat anak murid)
2.       Apresiasi (karena mereka akan berinteraksi dengan Anda melalui karya tulis buatan mereka sendiri)
3.       Membuka pandangan dan motivasi (dari cerita, foto maupun pesan  yang Anda tuliskan, saya percaya akan meninggalkan kesan untuk mereka secara personal dan emosional. Di situlah saya percaya saya tidak sedang berjuang sendiri untuk membuka pikiran mereka) J

OK itu saja.
Kalau Anda merasa selo dan tertarik menerima tantangan menulis cerpen “nanggung” ini, langsung ya saya tunggu kesanggupan anda via wasap atw facebook atau twitter beserta email kalian. 15 cerpen “nanggung” siap mampir di sela-sela inbox kalian yang sibuk. J

Saya akan kirimkan cerita dari partner menulis kalian via email segera dalam minggu ini. Kami tunggu balasannya selambatnya 2 minggu kemudian yak. Terima kasih.
Salam hangat dari anak-anak desa Maruat di kab paser, Kalimantan Timur.

Sabtu, 23 Februari 2013

Kado Buat Ibu


                      Kalau Himalaya punya puncaknya yang tertinggi di Everest, maka rinduku pun punya puncaknya di bulan ini. Melebihi apapun yang tengah berputar di kepalaku, inginku ucap satu : Selamat ulang tahun, Ibu. 


Tiga puluh tahun. Dan Sinta baru tiga bulan mencoba merasakannya. Tapi dengan kondisi dan situasi yang Sinta yakin jauh lebih baik dari jaman tiga bulan-nya Ibu dulu. Sinta tahu betapa Ibu pun mempertanyakan kenapa Sinta memilih jalan yang ini, karena cukup bercakap dengan Ibu pun sebenarnya Sinta sudah akan bisa tahu.

Menjadi guru. Bukan tentang rasanya menjadi, tapi tentang rasanya melihat anak-anak ini wira-wiri. Menjadi guru. Bukan tentang lamanya mengabdi, tapi tentang seberapa banyak bisa berbagi. Menjadi guru, (tentu saja) bukan tentang gaji, tapi tentang memaknai fonem “mensyukuri”.

Ibu saya yang lugu dan apa adanya, yang tanpa sadar saya pun tumbuh serupa tapi dengan tambahan bandel dan keras kepala di belakangnya. Ibu saya yang sudah jarang masak menjelang saya dewasa tapi tetap rajin masak kalau Lebaran. Ibu saya yang ngga punya fesbuk atau watsap atau twitter tapi (katanya) selalu baca blog saya, how I amaze how you remind me to update my blog frequently.

Selamat ulang tahun, Bu.


Maafkan anakmu yang bandel, serampangan, dan selalu menghindar dari pertanyaan “mau menikah kapan?”  ini yang belum bisa kembali. No more words. Only “Just for my mom” (Cuma Buat Ibuku) for you. Arti lagunya tanya mas Duta atau mas Eross aja ya bu. Haha.
Love you, Bu. :))


22feb2013 –Sheila On 7 – Just for My Mom

Sometimes I feel my heart so lonely but that's ok
 No matter how my girl just left me, I just don't care
 Whenever the rain comes down and it's seems there's no one to hold me
 She's there for me, she's my mom

 Just for my mom, I write this song
 Just for my mom, I sing this song
 Coz just my mom, can wipe my tears
 Coz just my mom, can only here

 Trap in a subway, can't remember the day but I feel ok
 Damped in damn situation, in every condition with no conclusion
 Whenever the rain comes down and it's seems there's none to hold me
 She's there for me, she's my mom

 You may say I have noone, to cover me under the sun
 You only get it from your mom, Mom!



p.s : waktu itu ibu bilang mau tau bentuk sinta sekarang. Nih : tetap sehat dan tetap gendut. Haha

Kamis, 14 Februari 2013

Dia yang Sedang Membaca




Haris.
Empat hari menjelang ujian akhir semester ganjil kemarin, tangan kirinya patah karena salto di dalam kelas saat jam istirahat. Sore harinya sepulang sekolah saya menengoknya di rumah. Kata bapaknya, dia ingin masuk sekolah keesokan harinya. Jelas saja mustahil. Dan dia waktu itu cuma diam saja sambil nonton tivi membiarkan lengan patahnya terkulai di sampingnya.

Hari ini, tangannya sudah hampir sembuh dan setiap saya sapa dia kala berangkat dan pulang sekolah, dia selalu tersenyum lebar menyambutnya.

p.s : Gambar di atas diambil pada minggu ke-2 masukan semester baru. Merupakan salah satu gambar favorit saya selama tiga bulan ini karena...entahlah. Mungkin karena dia sedang membaca dengan sungguh-sungguh. :)


Linda Linda Linda!!!


Karena twitter cuma menyediakan 140 karakter, dan karena baca SMS panjang bikin pusing, maka tulisan pendek rasa-rasanya lebih pas. Buat teman saya yang barusan menikah, Linda. 


Pada hari itu, saya sama sekali nggak menyangka bahwa kesamaan niat kami untuk masuk ke Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang sama, SKM UGM Bulaksumur, ternyata mengantar kami jadi lebih sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan yang sama di kemudian harinya. Mari kita ingat-ingat : tugas pembawa nampan ijazah kelulusan, jadi panitia ECC, nonton konser Sheila On 7, bahkan sampai topik skripsi kita sama meski kamu lulus lebih dulu daripada saya. Sadar atau tidak, ternyata banyak sekali tali-tali yang menyambungkan empat tahun kita di masa mahasiswa, lho #tsaaah. Kalo ibaratnya kita ini pengrajin kemoceng rafia, maka mungkin kemoceng kita mayoritas warna rafianya sama. Halah.
Saya tidak tahu apakah kamu menikmati semua proses itu seperti saya. Kadangpun, jujur, saya merasa bersalah karena banyak menyeret kamu masuk ke tempat-tempat yang sebenarnya kamu ragu masuki, tapi saya pengaruhi sampai betul terseret. Hahaha.. Kalau betul itu sempat kejadian, saya minta maaf sekalian ya disini. Hehehe. Tapi di luar itu, saya lebih berharap agar kamu membuat porsi irisan “menikmati” yang jauh lebih besar daripada porsi untuk irisan yang lain.

Lalu datanglah hari ini, hari ketika kamu memutuskan untuk menikah.

Well, Linda, tentu saja saya nggak akan tahu kemana kapalmu akan berlayar. Tapi kamu sudah memilih nahkodamu sendiri, dan kapal sendiri untuk berlayar. Menurut saya itu sangat hebat, di kala temanmu yang satu ini masih terlalu senang menumpang kapal lewat, kamu sudah membidik kapal pribadimu sendiri. Hahaaa.. Congratulation, anyway, buat kamu dan suami berdua. Doaku, semoga kalian hidup dalam berkah yang luar biasa, bahagia, dan baik-baik saja. Seperti lagu ini.

Pilih perahu tidaklah mudah
Kita tentu tak mau tenggelam
Perahu ini milik kita
Naiklah  jangan pernah kau turun

Berlayarlah denganku bertumpulah di pundakku
Bersamaku engkau tak perlu ragu
Semuanya ‘kan baik saja

(Berlayar-nya SO7, buat Linda sama Ginsa )

Cuma ini foto yang kupunya li.. :p





Untuk Aksay


Jangan menangis, Sayang
Karena pilumu buatku tersentak
Jangan menangis, Sayang
Karena sedih dalam air matamu
Pasti tak mampu kuganti dengan bahagia yang lebih


Satu lagi bocah menangis saat belajar dengan saya. Prestasi gemilang,  karena sepertinya saya hobi sekali buat anak orang menangis. Apa mungkin itu passion saya? Ah pret.

Tidak ada siapapun yang suka diperintah atau diminta melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Otak akan sangat resisten terhadap hal tersebut. Khawatirnya, ketika tiba di puncak resistensi tersebut, maka rasa kesal juga ikut naik yang berakibat pada tangisan. Sedikit demi sedikit, saya coba ubah pola kebiasaan itu dengan cara lain, salah satunya dengan kata“ayo kita coba dulu”. Kata “kita” ternyata punya efek cukup hebat dalam hal ini. Dengan kata ganti tersebut, seolah-olah orang yang didaulat sebagai objek yang diminta tidak akan merasa harus berjalan sendiri, setidaknya untuk beberapa waktu pertama.

Aksay, kelas 3, membuat saya menyadarinya. Ingat saya tentang anak ini adalah ketika guru wali kelasnya mengakatan bahwa Aksay adalah salah satu anak yang dicap “malas berpikir”. Aksay ini tinggal tak jauh dari rumah host saya. Kerap kali saya bertemu orangtuanya, dan dia pun cukup rajin datang untuk main dan belajar di rumah. Dari yang saya perhatikan, anak ini tak terbiasa diberi tantangan lebih. Yang dia suka hanya tiga : berlari, menggambar, dan perkalian satu angka (perkalian dari  angka 1-9). Dan dia hanya melakukan apa yang dia suka, selesai. Sekali saya coba ajari perkalian yang setingkat lebih maju dan memberikan latihan, dia langsung diam dan menangis. Tuhan, apa salah sayaaa?? Barulah saya dekati dia yang mematung sambil menyembunyikan air matanya yang mengalir jatuh sambil berucap :”Tidak apa, Say. Ayo, kita lajar bersama-sama. “

Lama dia tak bergerak. Saya tinggalkan dia untuk beralih mengurusi yang lain. Ketika menoleh lagi beberapa saat kemudian, Aksay masih juga menangis. Saya diamkan. Namun seiring waktu berlalu, dengan sendirinya dia perlahan kembali ke tengah teman-temannya, mengerjakan kembali tugasnya. Saya perhatikan tiap tingkahnya saat mewarnai pekerjaannya. Rasanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia melakukan tugasnya dengan baik dan gembira, menanyakan beberapa hal yang perlu dilakukan. Heran saya dalam hati, cepat sekali dia pulih dari tangisnya. What a kid.


Melihatnya bekerja lebih mandiri dengan sesekali melongok ke teman di sampingnya buat saya tertawa-tawa kecil sepanjang sisa sore itu. Mungkin bukan karena Aksay “malas berpikir”, melainkan kebutuhan akan sebuah ruang dan kelegaan untuk “melakukan sesuatu”. Dan tentu saja : pembiasaan tanpa paksaan.


Mari Menulis Mimpi

"Kala kulihat layang-layang dapat terbang tinggi namun sesekali goyah dan dia jatuh lagi...." Bermimpi - Base Jam


Tempo hari saat mengisi pelajaran IPA di kelas 6, saya menyisipkan kegiatan menulis mimpi. Berbekal kertas lipat warna-warni, selotip kertas, dan kertas plano selembar, jadilah potongan-potongan mimpi tersebut. Terkejutnya saya adalah bahwa ternyata di usia mereka ini, mimpi itu bukan lagi semata ingin jadi dokter, supir truk, polisi, atau pengemudi jimbo (sejenis traktor pengeruk tanah yang oleh masyarakat setempat dipatenkan nama panggilannya sesuai nama perusahaan pembuatnya, JIMBO). Those dreams are silently created on real paths in their mind.

Ada empat hal yang saya minta mereka tulis di atas kertas lipat. Satu, tentang keinginan atau cita-cita mereka. Dua, tentang usaha mereka mencapainya. Tiga, tentang pelajaran yang paling disukai. Empat, tentang pelajaran yang paling dibenci TAPI ingin bisa menguasai. Kira-kira beginilah jadinya.


 Kalau tak punya mimpi, orang-orang seperti kita ini Cuma akan mati, Boy (Arai – Sang Pemimpi)


Kelas 6, polos dan bergairah. Beberapa yang menarik, here are some of them :


Saya ingin menjadi montir tapi orangtua saya melarang saya disuruh menjadi guru saya tidak bisa menjadi saya harus menjadi guru (Ardiyanto)



Keinginan saya = ingin menjadi Pengajar Muda seperti Ibu Vivin dan Ibu Sinta. Saya ingin meneruskan sekolah saya sampai kuliah. Setelah lulus kuliah saya mau giat belajar menjadi Pengajar Muda. Agar saya bisa menjadi Pengajar Muda saya harus giat dan Rajin belajar (Selviana) 



Keinginan saya : menjadi penghapal Al Quran 30 juz karena saya ingin memasukkan kedua orangtua saya masuk syurga beserta adik, tante, om, nenek, kakek, dan keluarga saya semuanya. Itulah keinginan saya (Hafidzah)




“Keinginan saya adalah ingin menjadi atlit yang sukses” (M. Jaiz)


Tiba di bagian “pelajaran yang paling tidak disuka”, tersebutlah disana Bahasa Inggris sebagai nominasi terbaiknya. Ardiyanto tetap menjadi juara saya dalam hal penyampaian opini pribadi.


Pelajaran Bahasa Inggris tapi saya ingin bisa. Sapa tau ada turis atau buleee datang kesini saya akan tanya how are you tokke tokke you nau (Ardiyanto)


Oh man. Sesungguhnya saya tidak begitu mengerti dan tidak kasih lajar “tokke-tokke you nau”. Tapi apa boleh buat, kadang-kadang imajinasi bisa jauh lebih liar daripada babi hutan.

 Dan satu testimoni lain yang paling membuat kening saya berkerut adalah dari Rahman.

Saya tidak suka pelajaran Bahasa Inggris karena bahasa munafik (Rahman)


Karena sangat penasaran, tanyalah saya pada si penulisnya sendiri. Ternyata pernyataan tersebut dia peroleh dari mulut salah seorang guru. Ujarnya, “ Karena bahasa inggris itu tulisan sama ucapannya berbeda, Bu. Misalnya lima. Tulisannya f-i-v-e tapi bacanya faif bukan fife”. Saya hanya ketawa saja dengar jawaban Rahman yang demikian.  Luar biasa, karena sungguh apa yang dikatakan guru mereka adalah pemahaman mereka, dan mereka mengadopsinya secara alamiah, walau kadang meleset karena dijelaskan secara utuh.

Mungkin sekali mimpi-mimpi dan kesukaan mereka ini berubah nantinya, bukan? Tapi sembari mereka bertumbuh, saya merasa beruntung bisa melihat sebagian prosesnya. 

Minggu, 03 Februari 2013

Janji Ibu Guru


Adalah Risma, gadis Bugis chubby yang tinggal di rumah sebelah, yang menanyai saya ketika saya sedang berkunjung melayat neneknya yang baru saja meninggal. “Kapan kita jalan-jalan lagi, Bu?” Lagi, dia maksudkan karena sudah pernah kami jalan-jalan dengan sepeda waktu kapan hari. Tujuan jalan-jalan kami waktu itu adalah empang (semacam petak kolam atau tambak) di dusun saya, Urip. Berawal dari rasa penasaran saya terhadap ujung dusun yang misterius, berakhir dengan tenggelamnya kaki saya hingga selutut ke dalam lumpur empang sisa hujan semalam sebelumnya.
Pertanyaan Risma membuat saya terdiam beberapa detik. Memang sudah agak lama saya tidak jalan dengan anak-anak, dikarenakan ada liburan antar semester dan kejadian ini itu yang mengharuskan saya tak bisa pulang ke desa cukup lama. Dan setelah memastikan bahwa hari Minggu terdekat masih bebas agenda, segera saya buat kesepakatan untuk jalan di hari tersebut. “Jam 8 saja ya, biar ndak terlalu panas, “ ujar saya kala itu.
Hari Minggu yang dimaksud pun tiba. Jam setengah 7 pagi, ketika saya sudah akan bersiap-siap jalan-jalan, Nanda, adik angkat saya mengajak saya untuk cuci baju di sumur bor. Hari itu sudah sekitar 10 hari hujan tak turun sehingga air hujan yang biasanya digunakan sebagai sumber air bersih untuk mandi, cuci baju, hingga masak, ludes. Akibatnya, sumber air untuk mandi dan cuci baju bergeser ke air sumur pada hari ke-7. Air sumur ini adalah air yang disimpan di galian tanah berbentuk persegi panjang menyerupai kolam, asalnya dari tanah. Rasa air sumur yang sedikit asin dan “berlogam” membuat air ini tidak bisa dibuat memasak. Namun lagi-lagi, karena sudah lamanya tak turun hujan, persediaan air di situ pun menipis sehingga sumur bor lah alternatif ke-3 nya.
Sumur bor ini letaknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah saya, melewati kebun belakang rumah yang penuh pohon kelapa dengan jalur berupa jalan setapak bernyamuk. Jadilah, setelah menimbang-nimbang dan melirik tumpukan cucian di sudut kamar, saya mengiyakan ajakan Nanda dengan perkiraan jam setengah 9 kelar dan bisa memenuhi janji jalan-jalan. Lekas saya ambil baju-baju kotor dan saya rendam selama 30-45 menit. Kemudian, baju hasil rendaman yang sudah diperas dimasukkan ke dalam kantong besar dan diikat di boncengan sepeda. Jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang seperempat ketika saya dan Nanda berangkat.
Ternyata mencuci butuh lebih dari sekedar membilas dan menggosok. Ya mengantri, ya naik turun badan, ya menunggu. Dan karena cucian Nanda sangat banyak, akhirnya kami baru bisa pulang sekitar sejam kemudian. Di tengah jalan pulang, kami disusul oleh dua makhluk kecil berbaju rapi yang mengayuh sepeda. Ternyata mereka sudah menunggu di rumah sejak jam 8, dan karena saya tidak kunjung pulang maka mereka susul saya. Risma dan Doni.
Jalan-jalan yang saya janjikan waktu itu adalah menggunakan sepeda dengan asumsi bahwa Lola sudah diperbaiki. Namun karena si Lola rantainya putus di tengah perjalanan pulang dari mencuci baju di sumur bor tadi, saya pun membatalkan agenda jalan-jalan (ohya, Lola ini adalah nama sepeda saya). Tentu saja usulan ini langsung ditolak mentah-mentah oleh Risma. Segera saja dia menawarkan untuk jalan kaki saja dan mengabarkan bahwa rute jalan yang akan ditempuh tidak terlalu jauh. Doni kecil pun hanya menurut . Saya tersenyum saja dengarnya. Saya tinggalkan mereka untuk menjemur baju, mandi dan sebagainya sampai sejam kemudian baru selesai dengan dugaan mereka akan capek menunggu dan mengurungkan niat jalan-jalan.
Namun apa yang terjadi? Mereka berdua masih nongkrong dengan bahagia di depan TV, menunggu saya selesai mandi dan ganti baju. Akhirnya, atas nama kemanusiaan, saya pun “menjadikan” agenda jalan-jalan hari itu. Walau jam sudah menunjukkan waktu tak layak jalan karena sudah terlampau siang, kami tetap jalan. Sinar matahari terik, ketika dengan lugu Doni berkata sebelum berangkat, “Ibu lama sekali kami tunggu”. Oh God.
Kami memilih untuk jalan ke dusun sebelah lewat jalan tembus hutan. Di tengah jalan, seorang anak ikut bergabung, Mawar namanya. Saya di belakang menyaksikan mereka bercakap banyak sekali. Sesekali mereka tanyai saya, “Ibu suka buah jambu kah? Suka buah belimbing? Suka buah ceri (ceri yang dimaksud ini dikenal luas dengan sebutan kersen atau talok dalam Bahasa Jawa)? Tapi cerinya habis. Ibu suka sirsak? Bu nanti kita beli es ya. Bu istirahat di bawah pohon situ saja naah”, dan seterusnya. Kami berjalan di tengah teriknya matahari yang mulai naik tepat di atas kepala, latihan memotret, beli es, dan melakuan razia ceri di rumah tukang jualan es. Sederhana, tapi saya senang bisa terlaksana. Dalam hati saya berjanji, walau apapun yang terjadi, sebuah janji haram hukumnya untuk diingkari. Menunda janji mungkin bisa saja, tapi tak terpenuhinya janji akan lain lagi persoalannya.
Janji itu seperti matahari ya ternyata. Mengikuti di atas kepala kita dari pagi hingga senja, tak hilang dengan alasan apapun kecuali karena kodratnya berakhir saat waktunya tiba. Kalau janji, berakhir kalau memang kedua pihak (si pemberi janji dan yang diberi janji) lupa.
“Bu, kapan kita ke Muara (desa sebelah yang letaknya sekitar 20 menit naik motor, -Pen)? Katanya kemarin setelah terima rapot, “ celetuk Mawar di tengah jalan pulang.
Saya menatap Mawar sambil tersenyum. “Hmm..iya, terima rapor kenaikan kelas, kan?”


                                                                 Memetik ceri



 Membugkus hasil petikan sendiri


                                                  Tiga tokoh utama

Minggu, 06 Januari 2013

Empat Januari

Setiap tanggal ini tiba saya selalu diingatkan untuk mengingat-ingat sesuatu. Saya memang tidak pernah berusaha melupakannya karena percuma. Dua hal yang bisa membantu saya lupa adalah hanya kalau saya tiba-tiba amnesia atau terlahir kembali. 

Kala itu waktu SMP kelas satu, kamu ditunjuk menjadi ketua kelas dalam kelasku. Menurutku kamu cengengesan, tapi entah kenapa semuanya teryakinkan bahwa kelas kita akan aman jika ketua kelasnya itu kamu. Aku yang selama di SD langganan jadi ketua kelas sempat kesal juga karena harus kalah penunjukan. Sama kamu, lagi, kalahnya. Haha. Meski begitu, tahukah kamu bahwa semester itu adalah yang terbaik karena kamu ajarkan aku bahwa jadi ketua kelas tidak harus galak?

Kala itu, ulang tahun sekolah kita dan tiap kelas akan melakukan pawai di sore hari. Kita sekelas semua sepakat untuk berpakaian ala gembel dan bernyanyilah kita ramai-ramai dengan lagunya Oppie Andaresta “andai a...a...a...a...aku jadi orang kaya”. Dan tahukah kamu bahwa tidak ada yang lebih mengherankan selain kamu yang tak lepas dari tawa sepanjang jalan?

Kala itu, ketika kita berangkat untuk lomba musik ansambel beramai-ramai. Seragam putih-putih dengan rompi bunga-bunga (eh atau batik ya?) dan dasi kita pakainya. Demam panggung sudah aku saat itu, terlebih karena takut salah not saat menyanyi. Bersamaan dengan itu, saat sedang bengong melihat giliran sekolah lain tampil tiba-tiba kamu datang dan minta tolong padaku untuk merapikan dasimu. Tahukah kamu bahwa setengah mati aku betulkan dasimu dengan tanganku yang tiba-tiba kena tremor?

Kala itu, ketika kita tidak sekelas lagi, aku sudah hampir sukses lupa punya teman kamu. Tapi terkadang aku ingin jajan juga di kantin yang berarti mengharuskanku lewati kelasmu. Tak terpikir olehku apapun hingga aku tahu bahwa seringnya kamu duduk di bangku paling belakang di dekat jendela yang dekat dengan koridor tempat lalu-lalang orang. Dan mulai saat itu, tahukah kamu bahwa aku selalu ingin menyapa kamu setiap lewat situ saat kamu masih ada kelas tapi aku tak pernah berani?

Kala itu, kita sudah kelas tiga SMP. Kamu seringnya duduk di tempat itu, tepat di belakang kursiku. Hingga suatu hari, karena teman-teman mengolok-olok kita, kamu marah dan menghindar selama beberapa hari dengan tidak duduk di kursi itu dan memalingkan wajah jauh-jauh dariku. Tahukah kamu, itu adalah pertama kalinya aku mengerti kalau patah hati itu sakit? Hahaha.

Kala itu, aku tahu pasti tanganmu menunjuk ke atas dengan mantap saat seorang guru bertanya ke seluruh siswa dalam kelas itu mengenai SMA yang ingin dituju setelah lulus : sebuah SMA berpredikat teladan di kota kita. Sedih juga aku melihatnya karena aku tidak pernah berkeinginan untuk masuk sekolah itu. Satu, jauh dari rumahku. Dua, terlalu teladan buatku. Tapi rasanya aman saat itu, karena tahu bahwa aku tidak akan susah-susah kesal menahan diri untuk tidak nangis dan marah kalau kamu sudah mulai menghindari komunikasi denganku. Tapi tahukah kamu betapa kagetnya aku ketika kita bertemu di sebuah SMA yang sama dan kamu juga mendaftar di sana, sekolah yang tidak pernah kamu janjikan dengan acungan jarimu?

Kamu mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini. Ya, karena saya juga terlalu malu untuk katakan sama kamu apa adanya, walau jika kamu ingat saya pernah katakan langsung sama kamu dan langsung menghilang ditelan asap bus kota. But as we grow old, cerita ini rasanya jadi semacam joke saja ya, bukan lagi rentetan curhat masam di atas kertas diary yang wangi. Terima kasih ya, karena kamu sudah menjadi satu-satunya alasan kenapa saya sempat tertarik baca ramalan zodiak di majalah-majalah atau siaran TV remaja.

Selamat ulang tahun.